Pentingnya Pemaduserasian Pola Pengelolaan Sumber Daya Air
Alih fungsi lahan adalah salah
satu permasalahan umum di sumber daya air yang sering diperbincangkan banyak
pihak. Peningkatan alih fungsi lahan tidak hanya mengancam ketahanan pangan
nasional, tetapi juga berdampak pada hilangnya investasi pemerintah dalam
pembangunan jaringan irigasi, peningkatan risiko banjir, dan mengurangi
ketersediaan air. Data BPS tahun 2004 menunjukkan bahwa di Pulau Jawa terjadi
pengurangan lahan sawah periode 1981-2002 sebesar 1,17 juta Ha. Walaupun ada
pencetakan sawah baru sebesar 536,25 ribu Ha di beberapa lokasi, tetapi tidak
sebanding dibandingkan alih fungsi yang terjadi. Penysutan lahan pertanian
Penyelenggaraan pembangunan selama ini telah membuahkan hasil yang
menggembirakan. Pertumbuhan pusat ekonomi baru tidak hanya terjadi di kota-
kota besar tetapi tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Sejalan dengan itu,
berbagai permasalahan muncul dan semakin kompleks.
Tidak terkecuali dalam
pengelolaan sumber daya air. Perubahan fungsi lahan di kawasan hulu DAS
terutama dari hutan menjadi lahan pertanian budidaya dapat berdampak pada
berkurangnya fungsi resapan air dan meningkatnya perbedaan debit
maksimum-minimum, erosi, dan sedimentasi. Perubahan fungsi lahan yang tidak
terkendali akan menambah panjang daftar DAS kritis di Indonesia, dimana potensi
bahaya banjir dan kekeringan, baik dari sebaran dan frekuensinya akan semakin
meningkat. Dengan kata lain, ada sensitive landuse pada suatu DAS, dan apabila
kemampuan daya resap air pada sensitive landuse ini berkurang maka akan terjadi
kekritisan sumber daya air, peningkatan debit banjir, dan sebaliknya, penurunan
debit andalan. Selain permasalahan tersebut di atas, pengelolaan sumber daya
air juga dihadapkan pada kondisi sulitnya penyediaan lahan untuk pembangunan
infrastruktur
sumber
daya air, seperti pembangunan bendungan, retarding basin, dan banjir kanal.
Pemerintah sering dihadapkan pada konfik sosial berkepanjangan dalam hal
penyediaan lahan ini, dan jika tidak hati-hati masalah tersebut dapat bergeser
ke ranah hukum.
Pelaksanaan desentralisasi dan
otonomi daerah juga membawa tantangan tersendiri dalam memahami prinsip
pengelolaan sumber daya air. Perbedaan pemahaman dapat menimbulkan
masalah-masalah sosial, ekonomi, politik dan budaya diberbagai daerah, memicu
terjadinya sengketa antar daerah, antara pusat dan daerah, serta sesama
pengguna air. Oleh karena itu, koordinasi dan sinkronisasi baik di tingkat
pusat, propinsi, kabupaten/kota, maupun di tingkat wilayah sungai merupakan
tantangan dalam membangun sistem kelembagaan pengelolaan sumber daya air yang
handal. Integrasi berbagai sektor mutlak diperlukan untuk saling melengkapi dan
menyesuaikan. topik utama
Arah Pengelolaan Sumber Daya
Air Ke Depan
Sesuai dengan amanat
Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2004, pengelolaan sumber daya air (SDA)
merupakan suatu upaya merencanakan, melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi
penyelenggaraan konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan
pengendalian daya rusak air. Pengelolaan sumber daya air didasarkan asas-asas
kelestarian, keseimbangan, kemanfaatan umum, keterpaduan dan keserasian,
keadilan, kemandirian, serta transparansi dan akuntabilitas. Dalam 20 tahun ke
depan, Pengelolaan SDA diarahkan untuk menjaga keseimbangan antara pelaksanaan
konservasi SDA, pendayagunaan SDA, dan pengendalian daya rusak air.
Permasalahan krisis ekologi di catchment area perlu mendapatkan perhatian yang
sungguh-sungguh. Pemecahan masalah hanya akan berhasil apabila melibatkan semua
pemangku kepentingan, dengan satu indikator keberhasilan yang disepakati
bersama. Penanganan konservasi tidak dapat hanya dilakukan melalui pendekatan
struktur, tetapi juga mengutamakan pendekatan non-struktur Dalam pendayagunaan
SDA, pemanfaatan air tanah sebagai sumber air baku perlu dipertimbangkan dengan
baik.
Dalam hal ini pengambilan air
tanah harus dilakukan secara seimbang dengan kemampuan pengisiannya kembali.
Pengelolaan SDA diarahkan untuk mengoptimalkan pemanfaatan air permukaan dan
air hujan. Sementara itu, pengendalian daya rusak air dilakukan dengan
mengatasi permasalahan mendasar, yaitu peningkatan limpasan air permukaan
sebagai akibat dari pengurangan tutupan lahan dan penurunan fungsi resapan.
Karenanya, penerapan dan pengawasan pelaksanaan rencana tata ruang wilayah
(RTRW) perlu dilakukan secara konsisten. Kehandalan layanan jasa pengelolaan
SDA harus ditingkatkan agar kebutuhan air dapat terpenuhi sepanjang tahun, agar
daya rusak air menurun baik frekuensi maupun sebarannya, agar kualitas air baku
meningkat, dan agar sistem penyediaan air minum dapat mencapai target MDG’s
(Millenium Development Goals). Keterlibatan masyarakat dan dunia usaha perlu
digalakkan dan ditingkatkan, dengan mengutamakan prinsip kerjasama kemitraan
yang saling menguntungkan. Untuk menjamin terselenggaranya pengelolaan SDA
seperti yang diharapkan di atas, UU Nomor 7 Tahun 2004 mengamanatkan perlunya
disusun
pola
pengelolaan sumber daya air (Pola PSDA). Sebagai suatu kerangka dasar, Pola
PSDA disusun berdasarkan wilayah sungai dengan prinsip keterpaduan antara air
permukaan dan air tanah. Penyusunan Pola PSDA dilakukan dengan melibatkan peran
masyarakat dan dunia usaha seluas-luasnya. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah
(PP) Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air, pola pengelolaan
SDA pada wilayah sungai disusun dengan memperhatikan kebijakan pengelolaan SDA
pada tingkat wilayah administrasi yang bersangkutan. Kebijakan pengelolaan SDA
ditetapkan secara terintegrasi kedalam kebijakan pembangunan provinsi atau
kabupaten/kota, termasuk dalam rencana tata ruang wilayah.
Keterkaitan Pola PSDA dengan
RTRW
Pola PSDA dan RTRW memiliki
hubungan yang bersifat dinamis dan terbuka untuk saling menyesuaikan. Pasal 39
dari PP 42 Tahun 2008 menyebutkan bahwa rencana pengelolaan SDA yang sudah
ditetapkan merupakan dasar penyusunan program dan rencana kegiatan setiap
sektor yang terkait dengan sumber daya air, dan sebagai masukan dalam
penyusunan, peninjauan kembali, dan/atau penyempurnaan rencana tata ruang
wilayah yang bersangkutan. Sejalan dengan itu, Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2007 tentang Penataan Ruang – secara tidak langsung – menyebutkan bahwa
penataan ruang harus memperhatikan kondisi fisik wilayah dan potensi berbagai
sumber daya (termasuk sumber daya air). Lebih lanjut disebutkan bahwa rencana
tata ruang meliputi sistem jaringan prasarana sumber daya air, kawasan lindung
(termasuk kawasan konservasi), dan kawasan budi daya (termasuk daerah layanan
irigasi). Karena itu, RTRW diharapkan menjadi pedoman untuk mewujudkan
keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan antarsektor (termasuk pengelolaan
SDA). Salah satu contoh kasus yang menarik untuk melihat keterkaitan
pengelolaan sumber daya air dengan rencana tata
ruang wilayah adalah
pembangunan Banjir Kanal Timur (BKT).Terlepas dari persoalan bagaimana
sebaiknya menyikapi banjir di Jakarta, BKT telah direncanakan sejak tahun
1973.
Master Plan for Drainage and Flood Control of Jakarta (dikenal sebagai Master
Plan 1973) disusun sebagai rencana pengelolaan sumber daya air di ibukota
Jakarta. Trase Banjir Kanal Timur di Master Plan 1973 lahan untuk trase BKT
telah tersedia. Tentu bisa dibayangkan bagaimana sulitnya apabila sepanjang
trase BKT telah berdiri pusat-pusat kegiatan ekonomi. Pilihan beratpun harus
diputuskan yaitu membiarkan Jakarta terus “bersahabat” dengan banjir atau
menguras anggaran untuk ganti rugi lahan. Pemerintah menyadari tidak mudah
untuk mewujudkan pelaksaan master plan tersebut. Terbatasnya alokasi anggaran
merupakan masalah klasik yang dihadapi setiap tahun.
Namun Pemerintah tetap bertekad
untuk menjadikan ibukota negara, kawasan bebas banjir. Sejalan dengan upaya
menemukan skenario pembiayaan yang tepat, Pemerintah Propinsi DKI Jakarta memasukkan
rencana pembangunan tersebut ke dalam rencana tata ruang wilayahnya. Jadi
secara umum, integrasi Pola PSDA ke dalam RTRW Propinsi atau Kabupaten/Kota
diharapkan mampu memberikan jaminan pelaksanaan pengelolaan sumber daya air ke
depan. Mengapa demikian? Karena, RTRW selain merupakan instrumen perencanaan,
juga merupakan instrumen pengendalian pembangunan. RTRW memiliki “alat paksa”
yaitu berupa ketentuan sanksi bagi setiap orang/pihak yang melanggarnya. Adanya
rencana pembangunan BKT dalam Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 6
Tahun 1999 tentang “Rencana Tata Ruang Wilayah 2010,” membuat penyediaan lahan
seluas 405,28 Ha yang terdiri dari 147,9 Ha di Jakarta Utara dan 257,3 Ha di
Jakarta Timur, memungkinkan untuk dilakukan. Walau pembebasan lahan berjalan
lambat, tetapi setidaknya
Integrasi Pola PSDA dengan RTRW
Walaupun secara umum
pengintegrasian rencana pembangunan nasional ke dalam RTRW telah dilakukan,
namun integrasi di bidang sumber daya air belum dilaksanakan secara utuh. Saat
ini fokus integrasi sumber daya air dengan RTRW lebih banyak pada sistem
jaringan prasarana SDA, yang meliputi jaringan SDA lintas negara dan lintas
propinsi untuk mendukung air baku pertanian, jaringan SDA untuk kebutuhan air
baku industri, jaringan air baku untuk kebutuhan air minum, dan sistem
pengendalian banjir. Jika melihat bahwa pengelolaan SDA meliputi konservasi
sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak
air, seharusnya integrasi dilakukan dengan menterjemahkan ketiga komponen
tersebut ke dalam struktur ruang dan pola ruang di RTRW. Secara substansi,
masukan Pola Pengelolaan SDA (PSDA) ke dalam RTRW sekurang- kurangnya memuat
hal-hal berikut di bawah ini.
Pola/Rencana
PSDA Penentuan besar/ukuran penggambaran prasarana sumber daya air perlu
disesuaikan dengan ketentuan dalam penyusunan RTRW. Sebagai contoh masukan
Pola PSDA wilayah sungai ke
dalam RTRW dapat dilihat pada Tabel berikut.
Contoh Masukan Pola PSDA ke
dalam RTRW Bila tidak mungkin masuk dalam Peta, minimum ada dalam teks atau
narasi Pengintegrasian rencana pengelolaan sumber daya air ke dalam RTRW harus
dapat tercermin dalam tujuan, kebijakan dan strategi, baik di tingkat nasional,
propinsi maupun kabupaten/kota. topik utama Pengintegrasian
juga
perlu mempertimbangkan hirarki yang ada baik di dalam RTRW maupun dalam
pengelolaan SDA. Hirarki RTRW disusun menurut tingkatan administrasi
pemerintahan, yaitu berupa RTRW Nasional, RTRW Propinsi, dan RTRW
Kabupaten/Kota. Sedangkan dalam pengelolaan SDA, Pola PSDA disusun berdasarkan
Wilayah Sungai (WS) RUANG WILAYAH Lintas Negara, WS Lintas Propinsi, WS
Strategis Nasional, WS Lintas Kabupaten/Kota, dan WS satu Kabupaten/Kota.
Apabila digambarkan, bentuk keterkaitan yang dapat terjadi antara RTRW dengan
Pola PSDA Wilayah Sungai adalah seperti terlihat pada Gambar 5 dibawah ini.
Keterkaitan Antara Rencana Tata
Ruang Wilayah Dengan Pola Pengelolaan Sumber Daya Air Wilayah Sungai Lebih
jauh, pengintegrasian rencana pengelolaan sumber daya air ke dalam RTRW harus
dapat tercermin dalam tujuan, kebijakan dan strategi, baik di tingkat nasional,
propinsi maupun kabupaten/kota. Terkait dengan hal ini perlu diperhatikan
penentuan program yang memuat lokasi, besaran, sumber dana, instansi pelaksana,
dan target waktu pelaksanaan. Tantangan, dan sekaligus kesempatan yang bisa
dimanfaatkan, saat ini adalah belum semua daerah menyelesaikan RTRW dan Pola
PSDA pada tingkat wilayah sungainya.
Jumlah RTRW yang telah disahkan
(Perda) sampai dengan Juni 2011 baru mencapai 8 propinsi dan 25 kabupaten/kota.
Sementara itu, pembuatan Pola PSDA di wilayah sungai yang menjadi kewenangan
Pemerintah Pusat baru selesai 19 rancangan, dari total 68 rancangan pola.
Karena itu, perlu segera disusun bahan integrasi Pola PSDA ke dalam RTRW berupa
peta, teks/narasi, dan program yang disiapkan sekaligus ketika melakukan
penyusunan Pola Pengelolaan SDA. Dalam hal ini momentum penyusunan RTRW 20 dan
Penyusunan Pola PSDA di Provinsi maupun Kabupaten/Kota hendaknya dapat
dimanfaatkan dengan baik. Pengintegrasian ini diharapkan dapat meminimalisir
dampak perubahan pemanfaatan ruang seperti yang terjadi saat ini. Pada tatanan
kebijakan, kebutuhan pengintegrasian Pola PSDA ke dalam RTRW Propinsi dan RTRW
Kabupaten/Kota
sangat diperlukan untuk memastikan tersedianya lahan bagi pembangunan prasarana
sumber daya air. Dengan demikian diharapkan tujuan pembangunan sumber daya air
sebagai bagian dari pembangunan nasional dapat mewujudkan kemanfaatan sumber
daya air yang berkelanjutan untuk kemakmuran rakyat. Akhir kata dapat disampaikan
bahwa antara Pola Pengelolaan Sumber Daya Air dan Rencana Tata Ruang Wilayah
terdapat hubungan yang bersifat dinamis dan terbuka untuk saling menyesuaikan.
Pola PSDA menjadi salah satu unsur dalam penyusunan dan perbaikan RTRW, dan
sebaliknya pengembangan sumber daya air harus didasarkan pada RTRW yang telah
disusun.
Pentingnya Pemaduserasian Pola Pengelolaan Sumber Daya Air
Oleh : Purba Robert Sianipar
Assisten Deputi Urusan Sumber
daya Air
Alih fungsi lahan adalah salah
satu permasalahan umum di sumber daya air yang sering diperbincangkan banyak
pihak. Peningkatan alih fungsi lahan tidak hanya mengancam ketahanan pangan
nasional, tetapi juga berdampak pada hilangnya investasi pemerintah dalam
pembangunan jaringan irigasi, peningkatan risiko banjir, dan mengurangi
ketersediaan air. Data BPS tahun 2004 menunjukkan bahwa di Pulau Jawa terjadi
pengurangan lahan sawah periode 1981-2002 sebesar 1,17 juta Ha. Walaupun ada
pencetakan sawah baru sebesar 536,25 ribu Ha di beberapa lokasi, tetapi tidak
sebanding dibandingkan alih fungsi yang terjadi. Penysutan lahan pertanian
Penyelenggaraan pembangunan selama ini telah membuahkan hasil yang
menggembirakan. Pertumbuhan pusat ekonomi baru tidak hanya terjadi di kota-
kota besar tetapi tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Sejalan dengan itu,
berbagai permasalahan muncul dan semakin kompleks.
Tidak terkecuali dalam
pengelolaan sumber daya air. Perubahan fungsi lahan di kawasan hulu DAS
terutama dari hutan menjadi lahan pertanian budidaya dapat berdampak pada
berkurangnya fungsi resapan air dan meningkatnya perbedaan debit
maksimum-minimum, erosi, dan sedimentasi. Perubahan fungsi lahan yang tidak
terkendali akan menambah panjang daftar DAS kritis di Indonesia, dimana potensi
bahaya banjir dan kekeringan, baik dari sebaran dan frekuensinya akan semakin
meningkat. Dengan kata lain, ada sensitive landuse pada suatu DAS, dan apabila
kemampuan daya resap air pada sensitive landuse ini berkurang maka akan terjadi
kekritisan sumber daya air, peningkatan debit banjir, dan sebaliknya, penurunan
debit andalan. Selain permasalahan tersebut di atas, pengelolaan sumber daya
air juga dihadapkan pada kondisi sulitnya penyediaan lahan untuk pembangunan
infrastruktur
sumber
daya air, seperti pembangunan bendungan, retarding basin, dan banjir kanal.
Pemerintah sering dihadapkan pada konfik sosial berkepanjangan dalam hal
penyediaan lahan ini, dan jika tidak hati-hati masalah tersebut dapat bergeser
ke ranah hukum.
Pelaksanaan desentralisasi dan
otonomi daerah juga membawa tantangan tersendiri dalam memahami prinsip
pengelolaan sumber daya air. Perbedaan pemahaman dapat menimbulkan
masalah-masalah sosial, ekonomi, politik dan budaya diberbagai daerah, memicu
terjadinya sengketa antar daerah, antara pusat dan daerah, serta sesama
pengguna air. Oleh karena itu, koordinasi dan sinkronisasi baik di tingkat
pusat, propinsi, kabupaten/kota, maupun di tingkat wilayah sungai merupakan
tantangan dalam membangun sistem kelembagaan pengelolaan sumber daya air yang
handal. Integrasi berbagai sektor mutlak diperlukan untuk saling melengkapi dan
menyesuaikan. topik utama
Arah Pengelolaan Sumber Daya
Air Ke Depan
Sesuai dengan amanat
Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2004, pengelolaan sumber daya air (SDA)
merupakan suatu upaya merencanakan, melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi
penyelenggaraan konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan
pengendalian daya rusak air. Pengelolaan sumber daya air didasarkan asas-asas
kelestarian, keseimbangan, kemanfaatan umum, keterpaduan dan keserasian,
keadilan, kemandirian, serta transparansi dan akuntabilitas. Dalam 20 tahun ke
depan, Pengelolaan SDA diarahkan untuk menjaga keseimbangan antara pelaksanaan
konservasi SDA, pendayagunaan SDA, dan pengendalian daya rusak air.
Permasalahan krisis ekologi di catchment area perlu mendapatkan perhatian yang
sungguh-sungguh. Pemecahan masalah hanya akan berhasil apabila melibatkan semua
pemangku kepentingan, dengan satu indikator keberhasilan yang disepakati
bersama. Penanganan konservasi tidak dapat hanya dilakukan melalui pendekatan
struktur, tetapi juga mengutamakan pendekatan non-struktur Dalam pendayagunaan
SDA, pemanfaatan air tanah sebagai sumber air baku perlu dipertimbangkan dengan
baik.
Dalam hal ini pengambilan air
tanah harus dilakukan secara seimbang dengan kemampuan pengisiannya kembali.
Pengelolaan SDA diarahkan untuk mengoptimalkan pemanfaatan air permukaan dan
air hujan. Sementara itu, pengendalian daya rusak air dilakukan dengan
mengatasi permasalahan mendasar, yaitu peningkatan limpasan air permukaan
sebagai akibat dari pengurangan tutupan lahan dan penurunan fungsi resapan.
Karenanya, penerapan dan pengawasan pelaksanaan rencana tata ruang wilayah
(RTRW) perlu dilakukan secara konsisten. Kehandalan layanan jasa pengelolaan
SDA harus ditingkatkan agar kebutuhan air dapat terpenuhi sepanjang tahun, agar
daya rusak air menurun baik frekuensi maupun sebarannya, agar kualitas air baku
meningkat, dan agar sistem penyediaan air minum dapat mencapai target MDG’s
(Millenium Development Goals). Keterlibatan masyarakat dan dunia usaha perlu
digalakkan dan ditingkatkan, dengan mengutamakan prinsip kerjasama kemitraan
yang saling menguntungkan. Untuk menjamin terselenggaranya pengelolaan SDA
seperti yang diharapkan di atas, UU Nomor 7 Tahun 2004 mengamanatkan perlunya
disusun
pola
pengelolaan sumber daya air (Pola PSDA). Sebagai suatu kerangka dasar, Pola
PSDA disusun berdasarkan wilayah sungai dengan prinsip keterpaduan antara air
permukaan dan air tanah. Penyusunan Pola PSDA dilakukan dengan melibatkan peran
masyarakat dan dunia usaha seluas-luasnya. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah
(PP) Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air, pola pengelolaan
SDA pada wilayah sungai disusun dengan memperhatikan kebijakan pengelolaan SDA
pada tingkat wilayah administrasi yang bersangkutan. Kebijakan pengelolaan SDA
ditetapkan secara terintegrasi kedalam kebijakan pembangunan provinsi atau
kabupaten/kota, termasuk dalam rencana tata ruang wilayah.
Keterkaitan Pola PSDA dengan
RTRW
Pola PSDA dan RTRW memiliki
hubungan yang bersifat dinamis dan terbuka untuk saling menyesuaikan. Pasal 39
dari PP 42 Tahun 2008 menyebutkan bahwa rencana pengelolaan SDA yang sudah
ditetapkan merupakan dasar penyusunan program dan rencana kegiatan setiap
sektor yang terkait dengan sumber daya air, dan sebagai masukan dalam
penyusunan, peninjauan kembali, dan/atau penyempurnaan rencana tata ruang
wilayah yang bersangkutan. Sejalan dengan itu, Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2007 tentang Penataan Ruang – secara tidak langsung – menyebutkan bahwa
penataan ruang harus memperhatikan kondisi fisik wilayah dan potensi berbagai
sumber daya (termasuk sumber daya air). Lebih lanjut disebutkan bahwa rencana
tata ruang meliputi sistem jaringan prasarana sumber daya air, kawasan lindung
(termasuk kawasan konservasi), dan kawasan budi daya (termasuk daerah layanan
irigasi). Karena itu, RTRW diharapkan menjadi pedoman untuk mewujudkan
keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan antarsektor (termasuk pengelolaan
SDA). Salah satu contoh kasus yang menarik untuk melihat keterkaitan
pengelolaan sumber daya air dengan rencana tata
ruang wilayah adalah
pembangunan Banjir Kanal Timur (BKT).Terlepas dari persoalan bagaimana
sebaiknya menyikapi banjir di Jakarta, BKT telah direncanakan sejak tahun
1973.
Master Plan for Drainage and Flood Control of Jakarta (dikenal sebagai Master
Plan 1973) disusun sebagai rencana pengelolaan sumber daya air di ibukota
Jakarta. Trase Banjir Kanal Timur di Master Plan 1973 lahan untuk trase BKT
telah tersedia. Tentu bisa dibayangkan bagaimana sulitnya apabila sepanjang
trase BKT telah berdiri pusat-pusat kegiatan ekonomi. Pilihan beratpun harus
diputuskan yaitu membiarkan Jakarta terus “bersahabat” dengan banjir atau
menguras anggaran untuk ganti rugi lahan. Pemerintah menyadari tidak mudah
untuk mewujudkan pelaksaan master plan tersebut. Terbatasnya alokasi anggaran
merupakan masalah klasik yang dihadapi setiap tahun.
Namun Pemerintah tetap bertekad
untuk menjadikan ibukota negara, kawasan bebas banjir. Sejalan dengan upaya
menemukan skenario pembiayaan yang tepat, Pemerintah Propinsi DKI Jakarta memasukkan
rencana pembangunan tersebut ke dalam rencana tata ruang wilayahnya. Jadi
secara umum, integrasi Pola PSDA ke dalam RTRW Propinsi atau Kabupaten/Kota
diharapkan mampu memberikan jaminan pelaksanaan pengelolaan sumber daya air ke
depan. Mengapa demikian? Karena, RTRW selain merupakan instrumen perencanaan,
juga merupakan instrumen pengendalian pembangunan. RTRW memiliki “alat paksa”
yaitu berupa ketentuan sanksi bagi setiap orang/pihak yang melanggarnya. Adanya
rencana pembangunan BKT dalam Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 6
Tahun 1999 tentang “Rencana Tata Ruang Wilayah 2010,” membuat penyediaan lahan
seluas 405,28 Ha yang terdiri dari 147,9 Ha di Jakarta Utara dan 257,3 Ha di
Jakarta Timur, memungkinkan untuk dilakukan. Walau pembebasan lahan berjalan
lambat, tetapi setidaknya
Integrasi Pola PSDA dengan RTRW
Walaupun secara umum
pengintegrasian rencana pembangunan nasional ke dalam RTRW telah dilakukan,
namun integrasi di bidang sumber daya air belum dilaksanakan secara utuh. Saat
ini fokus integrasi sumber daya air dengan RTRW lebih banyak pada sistem
jaringan prasarana SDA, yang meliputi jaringan SDA lintas negara dan lintas
propinsi untuk mendukung air baku pertanian, jaringan SDA untuk kebutuhan air
baku industri, jaringan air baku untuk kebutuhan air minum, dan sistem
pengendalian banjir. Jika melihat bahwa pengelolaan SDA meliputi konservasi
sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak
air, seharusnya integrasi dilakukan dengan menterjemahkan ketiga komponen
tersebut ke dalam struktur ruang dan pola ruang di RTRW. Secara substansi,
masukan Pola Pengelolaan SDA (PSDA) ke dalam RTRW sekurang- kurangnya memuat
hal-hal berikut di bawah ini.
Pola/Rencana
PSDA Penentuan besar/ukuran penggambaran prasarana sumber daya air perlu
disesuaikan dengan ketentuan dalam penyusunan RTRW. Sebagai contoh masukan
Pola PSDA wilayah sungai ke
dalam RTRW dapat dilihat pada Tabel berikut.
Contoh Masukan Pola PSDA ke
dalam RTRW Bila tidak mungkin masuk dalam Peta, minimum ada dalam teks atau
narasi Pengintegrasian rencana pengelolaan sumber daya air ke dalam RTRW harus
dapat tercermin dalam tujuan, kebijakan dan strategi, baik di tingkat nasional,
propinsi maupun kabupaten/kota. topik utama Pengintegrasian
juga
perlu mempertimbangkan hirarki yang ada baik di dalam RTRW maupun dalam
pengelolaan SDA. Hirarki RTRW disusun menurut tingkatan administrasi
pemerintahan, yaitu berupa RTRW Nasional, RTRW Propinsi, dan RTRW
Kabupaten/Kota. Sedangkan dalam pengelolaan SDA, Pola PSDA disusun berdasarkan
Wilayah Sungai (WS) RUANG WILAYAH Lintas Negara, WS Lintas Propinsi, WS
Strategis Nasional, WS Lintas Kabupaten/Kota, dan WS satu Kabupaten/Kota.
Apabila digambarkan, bentuk keterkaitan yang dapat terjadi antara RTRW dengan
Pola PSDA Wilayah Sungai adalah seperti terlihat pada Gambar 5 dibawah ini.
Keterkaitan Antara Rencana Tata
Ruang Wilayah Dengan Pola Pengelolaan Sumber Daya Air Wilayah Sungai Lebih
jauh, pengintegrasian rencana pengelolaan sumber daya air ke dalam RTRW harus
dapat tercermin dalam tujuan, kebijakan dan strategi, baik di tingkat nasional,
propinsi maupun kabupaten/kota. Terkait dengan hal ini perlu diperhatikan
penentuan program yang memuat lokasi, besaran, sumber dana, instansi pelaksana,
dan target waktu pelaksanaan. Tantangan, dan sekaligus kesempatan yang bisa
dimanfaatkan, saat ini adalah belum semua daerah menyelesaikan RTRW dan Pola
PSDA pada tingkat wilayah sungainya.
Jumlah RTRW yang telah disahkan
(Perda) sampai dengan Juni 2011 baru mencapai 8 propinsi dan 25 kabupaten/kota.
Sementara itu, pembuatan Pola PSDA di wilayah sungai yang menjadi kewenangan
Pemerintah Pusat baru selesai 19 rancangan, dari total 68 rancangan pola.
Karena itu, perlu segera disusun bahan integrasi Pola PSDA ke dalam RTRW berupa
peta, teks/narasi, dan program yang disiapkan sekaligus ketika melakukan
penyusunan Pola Pengelolaan SDA. Dalam hal ini momentum penyusunan RTRW 20 dan
Penyusunan Pola PSDA di Provinsi maupun Kabupaten/Kota hendaknya dapat
dimanfaatkan dengan baik. Pengintegrasian ini diharapkan dapat meminimalisir
dampak perubahan pemanfaatan ruang seperti yang terjadi saat ini. Pada tatanan
kebijakan, kebutuhan pengintegrasian Pola PSDA ke dalam RTRW Propinsi dan RTRW
Kabupaten/Kota
sangat diperlukan untuk memastikan tersedianya lahan bagi pembangunan prasarana
sumber daya air. Dengan demikian diharapkan tujuan pembangunan sumber daya air
sebagai bagian dari pembangunan nasional dapat mewujudkan kemanfaatan sumber
daya air yang berkelanjutan untuk kemakmuran rakyat. Akhir kata dapat disampaikan
bahwa antara Pola Pengelolaan Sumber Daya Air dan Rencana Tata Ruang Wilayah
terdapat hubungan yang bersifat dinamis dan terbuka untuk saling menyesuaikan.
Pola PSDA menjadi salah satu unsur dalam penyusunan dan perbaikan RTRW, dan
sebaliknya pengembangan sumber daya air harus didasarkan pada RTRW yang telah
disusun.
Casinos in Malta - Filmfile Europe
BalasHapusFind 바카라 사이트 the best Casinos in nba매니아 Malta including bonuses, https://vannienailor4166blog.blogspot.com/ games, aprcasino games and the history of games. We cover all the main reasons to visit kadangpintar Casinos in