Kamis, 03 Januari 2019

POLA DAN RENCANA PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR


 Pentingnya Pemaduserasian Pola Pengelolaan Sumber Daya Air

Alih fungsi lahan adalah salah satu permasalahan umum di sumber daya air yang sering diperbincangkan banyak pihak. Peningkatan alih fungsi lahan tidak hanya mengancam ketahanan pangan nasional, tetapi juga berdampak pada hilangnya investasi pemerintah dalam pembangunan jaringan irigasi, peningkatan risiko banjir, dan mengurangi ketersediaan air. Data BPS tahun 2004 menunjukkan bahwa di Pulau Jawa terjadi pengurangan lahan sawah periode 1981-2002 sebesar 1,17 juta Ha. Walaupun ada pencetakan sawah baru sebesar 536,25 ribu Ha di beberapa lokasi, tetapi tidak sebanding dibandingkan alih fungsi yang terjadi. Penysutan lahan pertanian Penyelenggaraan pembangunan selama ini telah membuahkan hasil yang menggembirakan. Pertumbuhan pusat ekonomi baru tidak hanya terjadi di kota- kota besar tetapi tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Sejalan dengan itu, berbagai permasalahan muncul dan semakin kompleks.
Tidak terkecuali dalam pengelolaan sumber daya air. Perubahan fungsi lahan di kawasan hulu DAS terutama dari hutan menjadi lahan pertanian budidaya dapat berdampak pada berkurangnya fungsi resapan air dan meningkatnya perbedaan debit maksimum-minimum, erosi, dan sedimentasi. Perubahan fungsi lahan yang tidak terkendali akan menambah panjang daftar DAS kritis di Indonesia, dimana potensi bahaya banjir dan kekeringan, baik dari sebaran dan frekuensinya akan semakin meningkat. Dengan kata lain, ada sensitive landuse pada suatu DAS, dan apabila kemampuan daya resap air pada sensitive landuse ini berkurang maka akan terjadi kekritisan sumber daya air, peningkatan debit banjir, dan sebaliknya, penurunan debit andalan. Selain permasalahan tersebut di atas, pengelolaan sumber daya air juga dihadapkan pada kondisi sulitnya penyediaan lahan untuk pembangunan infrastruktur

                                                                         
sumber daya air, seperti pembangunan bendungan, retarding basin, dan banjir kanal. Pemerintah sering dihadapkan pada konfik sosial berkepanjangan dalam hal penyediaan lahan ini, dan jika tidak hati-hati masalah tersebut dapat bergeser ke ranah hukum.
Pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah juga membawa tantangan tersendiri dalam memahami prinsip pengelolaan sumber daya air. Perbedaan pemahaman dapat menimbulkan masalah-masalah sosial, ekonomi, politik dan budaya diberbagai daerah, memicu terjadinya sengketa antar daerah, antara pusat dan daerah, serta sesama pengguna air. Oleh karena itu, koordinasi dan sinkronisasi baik di tingkat pusat, propinsi, kabupaten/kota, maupun di tingkat wilayah sungai merupakan tantangan dalam membangun sistem kelembagaan pengelolaan sumber daya air yang handal. Integrasi berbagai sektor mutlak diperlukan untuk saling melengkapi dan menyesuaikan. topik utama
Arah Pengelolaan Sumber Daya Air Ke Depan
Sesuai dengan amanat Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2004, pengelolaan sumber daya air (SDA) merupakan suatu upaya merencanakan, melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi penyelenggaraan konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air. Pengelolaan sumber daya air didasarkan asas-asas kelestarian, keseimbangan, kemanfaatan umum, keterpaduan dan keserasian, keadilan, kemandirian, serta transparansi dan akuntabilitas. Dalam 20 tahun ke depan, Pengelolaan SDA diarahkan untuk menjaga keseimbangan antara pelaksanaan konservasi SDA, pendayagunaan SDA, dan pengendalian daya rusak air. Permasalahan krisis ekologi di catchment area perlu mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh. Pemecahan masalah hanya akan berhasil apabila melibatkan semua pemangku kepentingan, dengan satu indikator keberhasilan yang disepakati bersama. Penanganan konservasi tidak dapat hanya dilakukan melalui pendekatan struktur, tetapi juga mengutamakan pendekatan non-struktur Dalam pendayagunaan SDA, pemanfaatan air tanah sebagai sumber air baku perlu dipertimbangkan dengan baik.
Dalam hal ini pengambilan air tanah harus dilakukan secara seimbang dengan kemampuan pengisiannya kembali. Pengelolaan SDA diarahkan untuk mengoptimalkan pemanfaatan air permukaan dan air hujan. Sementara itu, pengendalian daya rusak air dilakukan dengan mengatasi permasalahan mendasar, yaitu peningkatan limpasan air permukaan sebagai akibat dari pengurangan tutupan lahan dan penurunan fungsi resapan. Karenanya, penerapan dan pengawasan pelaksanaan rencana tata ruang wilayah (RTRW) perlu dilakukan secara konsisten. Kehandalan layanan jasa pengelolaan SDA harus ditingkatkan agar kebutuhan air dapat terpenuhi sepanjang tahun, agar daya rusak air menurun baik frekuensi maupun sebarannya, agar kualitas air baku meningkat, dan agar sistem penyediaan air minum dapat mencapai target MDG’s (Millenium Development Goals). Keterlibatan masyarakat dan dunia usaha perlu digalakkan dan ditingkatkan, dengan mengutamakan prinsip kerjasama kemitraan yang saling menguntungkan. Untuk menjamin terselenggaranya pengelolaan SDA seperti yang diharapkan di atas, UU Nomor 7 Tahun 2004 mengamanatkan perlunya disusun

                                                       
pola pengelolaan sumber daya air (Pola PSDA). Sebagai suatu kerangka dasar, Pola PSDA disusun berdasarkan wilayah sungai dengan prinsip keterpaduan antara air permukaan dan air tanah. Penyusunan Pola PSDA dilakukan dengan melibatkan peran masyarakat dan dunia usaha seluas-luasnya. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air, pola pengelolaan SDA pada wilayah sungai disusun dengan memperhatikan kebijakan pengelolaan SDA pada tingkat wilayah administrasi yang bersangkutan. Kebijakan pengelolaan SDA ditetapkan secara terintegrasi kedalam kebijakan pembangunan provinsi atau kabupaten/kota, termasuk dalam rencana tata ruang wilayah.
Keterkaitan Pola PSDA dengan RTRW
Pola PSDA dan RTRW memiliki hubungan yang bersifat dinamis dan terbuka untuk saling menyesuaikan. Pasal 39 dari PP 42 Tahun 2008 menyebutkan bahwa rencana pengelolaan SDA yang sudah ditetapkan merupakan dasar penyusunan program dan rencana kegiatan setiap sektor yang terkait dengan sumber daya air, dan sebagai masukan dalam penyusunan, peninjauan kembali, dan/atau penyempurnaan rencana tata ruang wilayah yang bersangkutan. Sejalan dengan itu, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang – secara tidak langsung – menyebutkan bahwa penataan ruang harus memperhatikan kondisi fisik wilayah dan potensi berbagai sumber daya (termasuk sumber daya air). Lebih lanjut disebutkan bahwa rencana tata ruang meliputi sistem jaringan prasarana sumber daya air, kawasan lindung (termasuk kawasan konservasi), dan kawasan budi daya (termasuk daerah layanan irigasi). Karena itu, RTRW diharapkan menjadi pedoman untuk mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan antarsektor (termasuk pengelolaan SDA). Salah satu contoh kasus yang menarik untuk melihat keterkaitan pengelolaan sumber daya air dengan rencana tata
ruang wilayah adalah pembangunan Banjir Kanal Timur (BKT).Terlepas dari persoalan bagaimana sebaiknya menyikapi banjir di Jakarta, BKT telah direncanakan sejak tahun



1973. Master Plan for Drainage and Flood Control of Jakarta (dikenal sebagai Master Plan 1973) disusun sebagai rencana pengelolaan sumber daya air di ibukota Jakarta. Trase Banjir Kanal Timur di Master Plan 1973 lahan untuk trase BKT telah tersedia. Tentu bisa dibayangkan bagaimana sulitnya apabila sepanjang trase BKT telah berdiri pusat-pusat kegiatan ekonomi. Pilihan beratpun harus diputuskan yaitu membiarkan Jakarta terus “bersahabat” dengan banjir atau menguras anggaran untuk ganti rugi lahan. Pemerintah menyadari tidak mudah untuk mewujudkan pelaksaan master plan tersebut. Terbatasnya alokasi anggaran merupakan masalah klasik yang dihadapi setiap tahun.
Namun Pemerintah tetap bertekad untuk menjadikan ibukota negara, kawasan bebas banjir. Sejalan dengan upaya menemukan skenario pembiayaan yang tepat, Pemerintah Propinsi DKI Jakarta memasukkan rencana pembangunan tersebut ke dalam rencana tata ruang wilayahnya. Jadi secara umum, integrasi Pola PSDA ke dalam RTRW Propinsi atau Kabupaten/Kota diharapkan mampu memberikan jaminan pelaksanaan pengelolaan sumber daya air ke depan. Mengapa demikian? Karena, RTRW selain merupakan instrumen perencanaan, juga merupakan instrumen pengendalian pembangunan. RTRW memiliki “alat paksa” yaitu berupa ketentuan sanksi bagi setiap orang/pihak yang melanggarnya. Adanya rencana pembangunan BKT dalam Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 6 Tahun 1999 tentang “Rencana Tata Ruang Wilayah 2010,” membuat penyediaan lahan seluas 405,28 Ha yang terdiri dari 147,9 Ha di Jakarta Utara dan 257,3 Ha di Jakarta Timur, memungkinkan untuk dilakukan. Walau pembebasan lahan berjalan lambat, tetapi setidaknya
Integrasi Pola PSDA dengan RTRW
Walaupun secara umum pengintegrasian rencana pembangunan nasional ke dalam RTRW telah dilakukan, namun integrasi di bidang sumber daya air belum dilaksanakan secara utuh. Saat ini fokus integrasi sumber daya air dengan RTRW lebih banyak pada sistem jaringan prasarana SDA, yang meliputi jaringan SDA lintas negara dan lintas propinsi untuk mendukung air baku pertanian, jaringan SDA untuk kebutuhan air baku industri, jaringan air baku untuk kebutuhan air minum, dan sistem pengendalian banjir. Jika melihat bahwa pengelolaan SDA meliputi konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air, seharusnya integrasi dilakukan dengan menterjemahkan ketiga komponen tersebut ke dalam struktur ruang dan pola ruang di RTRW. Secara substansi, masukan Pola Pengelolaan SDA (PSDA) ke dalam RTRW sekurang- kurangnya memuat hal-hal berikut di bawah ini.
Pola/Rencana PSDA Penentuan besar/ukuran penggambaran prasarana sumber daya air perlu disesuaikan dengan ketentuan dalam penyusunan RTRW. Sebagai contoh masukan
Pola PSDA wilayah sungai ke dalam RTRW dapat dilihat pada Tabel berikut.
Contoh Masukan Pola PSDA ke dalam RTRW Bila tidak mungkin masuk dalam Peta, minimum ada dalam teks atau narasi Pengintegrasian rencana pengelolaan sumber daya air ke dalam RTRW harus dapat tercermin dalam tujuan, kebijakan dan strategi, baik di tingkat nasional, propinsi maupun kabupaten/kota. topik utama Pengintegrasian
juga perlu mempertimbangkan hirarki yang ada baik di dalam RTRW maupun dalam pengelolaan SDA. Hirarki RTRW disusun menurut tingkatan administrasi pemerintahan, yaitu berupa RTRW Nasional, RTRW Propinsi, dan RTRW Kabupaten/Kota. Sedangkan dalam pengelolaan SDA, Pola PSDA disusun berdasarkan Wilayah Sungai (WS) RUANG WILAYAH Lintas Negara, WS Lintas Propinsi, WS Strategis Nasional, WS Lintas Kabupaten/Kota, dan WS satu Kabupaten/Kota. Apabila digambarkan, bentuk keterkaitan yang dapat terjadi antara RTRW dengan Pola PSDA Wilayah Sungai adalah seperti terlihat pada Gambar 5 dibawah ini.
Keterkaitan Antara Rencana Tata Ruang Wilayah Dengan Pola Pengelolaan Sumber Daya Air Wilayah Sungai Lebih jauh, pengintegrasian rencana pengelolaan sumber daya air ke dalam RTRW harus dapat tercermin dalam tujuan, kebijakan dan strategi, baik di tingkat nasional, propinsi maupun kabupaten/kota. Terkait dengan hal ini perlu diperhatikan penentuan program yang memuat lokasi, besaran, sumber dana, instansi pelaksana, dan target waktu pelaksanaan. Tantangan, dan sekaligus kesempatan yang bisa dimanfaatkan, saat ini adalah belum semua daerah menyelesaikan RTRW dan Pola PSDA pada tingkat wilayah sungainya.
Jumlah RTRW yang telah disahkan (Perda) sampai dengan Juni 2011 baru mencapai 8 propinsi dan 25 kabupaten/kota. Sementara itu, pembuatan Pola PSDA di wilayah sungai yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat baru selesai 19 rancangan, dari total 68 rancangan pola. Karena itu, perlu segera disusun bahan integrasi Pola PSDA ke dalam RTRW berupa peta, teks/narasi, dan program yang disiapkan sekaligus ketika melakukan penyusunan Pola Pengelolaan SDA. Dalam hal ini momentum penyusunan RTRW 20 dan Penyusunan Pola PSDA di Provinsi maupun Kabupaten/Kota hendaknya dapat dimanfaatkan dengan baik. Pengintegrasian ini diharapkan dapat meminimalisir dampak perubahan pemanfaatan ruang seperti yang terjadi saat ini. Pada tatanan kebijakan, kebutuhan pengintegrasian Pola PSDA ke dalam RTRW Propinsi dan RTRW
Kabupaten/Kota sangat diperlukan untuk memastikan tersedianya lahan bagi pembangunan prasarana sumber daya air. Dengan demikian diharapkan tujuan pembangunan sumber daya air sebagai bagian dari pembangunan nasional dapat mewujudkan kemanfaatan sumber daya air yang berkelanjutan untuk kemakmuran rakyat. Akhir kata dapat disampaikan bahwa antara Pola Pengelolaan Sumber Daya Air dan Rencana Tata Ruang Wilayah terdapat hubungan yang bersifat dinamis dan terbuka untuk saling menyesuaikan. Pola PSDA menjadi salah satu unsur dalam penyusunan dan perbaikan RTRW, dan sebaliknya pengembangan sumber daya air harus didasarkan pada RTRW yang telah disusun.


 Pentingnya Pemaduserasian Pola Pengelolaan Sumber Daya Air
Oleh : Purba Robert Sianipar
Assisten Deputi Urusan Sumber daya Air
Alih fungsi lahan adalah salah satu permasalahan umum di sumber daya air yang sering diperbincangkan banyak pihak. Peningkatan alih fungsi lahan tidak hanya mengancam ketahanan pangan nasional, tetapi juga berdampak pada hilangnya investasi pemerintah dalam pembangunan jaringan irigasi, peningkatan risiko banjir, dan mengurangi ketersediaan air. Data BPS tahun 2004 menunjukkan bahwa di Pulau Jawa terjadi pengurangan lahan sawah periode 1981-2002 sebesar 1,17 juta Ha. Walaupun ada pencetakan sawah baru sebesar 536,25 ribu Ha di beberapa lokasi, tetapi tidak sebanding dibandingkan alih fungsi yang terjadi. Penysutan lahan pertanian Penyelenggaraan pembangunan selama ini telah membuahkan hasil yang menggembirakan. Pertumbuhan pusat ekonomi baru tidak hanya terjadi di kota- kota besar tetapi tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Sejalan dengan itu, berbagai permasalahan muncul dan semakin kompleks.
Tidak terkecuali dalam pengelolaan sumber daya air. Perubahan fungsi lahan di kawasan hulu DAS terutama dari hutan menjadi lahan pertanian budidaya dapat berdampak pada berkurangnya fungsi resapan air dan meningkatnya perbedaan debit maksimum-minimum, erosi, dan sedimentasi. Perubahan fungsi lahan yang tidak terkendali akan menambah panjang daftar DAS kritis di Indonesia, dimana potensi bahaya banjir dan kekeringan, baik dari sebaran dan frekuensinya akan semakin meningkat. Dengan kata lain, ada sensitive landuse pada suatu DAS, dan apabila kemampuan daya resap air pada sensitive landuse ini berkurang maka akan terjadi kekritisan sumber daya air, peningkatan debit banjir, dan sebaliknya, penurunan debit andalan. Selain permasalahan tersebut di atas, pengelolaan sumber daya air juga dihadapkan pada kondisi sulitnya penyediaan lahan untuk pembangunan infrastruktur

                                                                         
sumber daya air, seperti pembangunan bendungan, retarding basin, dan banjir kanal. Pemerintah sering dihadapkan pada konfik sosial berkepanjangan dalam hal penyediaan lahan ini, dan jika tidak hati-hati masalah tersebut dapat bergeser ke ranah hukum.
Pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah juga membawa tantangan tersendiri dalam memahami prinsip pengelolaan sumber daya air. Perbedaan pemahaman dapat menimbulkan masalah-masalah sosial, ekonomi, politik dan budaya diberbagai daerah, memicu terjadinya sengketa antar daerah, antara pusat dan daerah, serta sesama pengguna air. Oleh karena itu, koordinasi dan sinkronisasi baik di tingkat pusat, propinsi, kabupaten/kota, maupun di tingkat wilayah sungai merupakan tantangan dalam membangun sistem kelembagaan pengelolaan sumber daya air yang handal. Integrasi berbagai sektor mutlak diperlukan untuk saling melengkapi dan menyesuaikan. topik utama
Arah Pengelolaan Sumber Daya Air Ke Depan
Sesuai dengan amanat Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2004, pengelolaan sumber daya air (SDA) merupakan suatu upaya merencanakan, melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi penyelenggaraan konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air. Pengelolaan sumber daya air didasarkan asas-asas kelestarian, keseimbangan, kemanfaatan umum, keterpaduan dan keserasian, keadilan, kemandirian, serta transparansi dan akuntabilitas. Dalam 20 tahun ke depan, Pengelolaan SDA diarahkan untuk menjaga keseimbangan antara pelaksanaan konservasi SDA, pendayagunaan SDA, dan pengendalian daya rusak air. Permasalahan krisis ekologi di catchment area perlu mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh. Pemecahan masalah hanya akan berhasil apabila melibatkan semua pemangku kepentingan, dengan satu indikator keberhasilan yang disepakati bersama. Penanganan konservasi tidak dapat hanya dilakukan melalui pendekatan struktur, tetapi juga mengutamakan pendekatan non-struktur Dalam pendayagunaan SDA, pemanfaatan air tanah sebagai sumber air baku perlu dipertimbangkan dengan baik.
Dalam hal ini pengambilan air tanah harus dilakukan secara seimbang dengan kemampuan pengisiannya kembali. Pengelolaan SDA diarahkan untuk mengoptimalkan pemanfaatan air permukaan dan air hujan. Sementara itu, pengendalian daya rusak air dilakukan dengan mengatasi permasalahan mendasar, yaitu peningkatan limpasan air permukaan sebagai akibat dari pengurangan tutupan lahan dan penurunan fungsi resapan. Karenanya, penerapan dan pengawasan pelaksanaan rencana tata ruang wilayah (RTRW) perlu dilakukan secara konsisten. Kehandalan layanan jasa pengelolaan SDA harus ditingkatkan agar kebutuhan air dapat terpenuhi sepanjang tahun, agar daya rusak air menurun baik frekuensi maupun sebarannya, agar kualitas air baku meningkat, dan agar sistem penyediaan air minum dapat mencapai target MDG’s (Millenium Development Goals). Keterlibatan masyarakat dan dunia usaha perlu digalakkan dan ditingkatkan, dengan mengutamakan prinsip kerjasama kemitraan yang saling menguntungkan. Untuk menjamin terselenggaranya pengelolaan SDA seperti yang diharapkan di atas, UU Nomor 7 Tahun 2004 mengamanatkan perlunya disusun

                                                       
pola pengelolaan sumber daya air (Pola PSDA). Sebagai suatu kerangka dasar, Pola PSDA disusun berdasarkan wilayah sungai dengan prinsip keterpaduan antara air permukaan dan air tanah. Penyusunan Pola PSDA dilakukan dengan melibatkan peran masyarakat dan dunia usaha seluas-luasnya. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air, pola pengelolaan SDA pada wilayah sungai disusun dengan memperhatikan kebijakan pengelolaan SDA pada tingkat wilayah administrasi yang bersangkutan. Kebijakan pengelolaan SDA ditetapkan secara terintegrasi kedalam kebijakan pembangunan provinsi atau kabupaten/kota, termasuk dalam rencana tata ruang wilayah.
Keterkaitan Pola PSDA dengan RTRW
Pola PSDA dan RTRW memiliki hubungan yang bersifat dinamis dan terbuka untuk saling menyesuaikan. Pasal 39 dari PP 42 Tahun 2008 menyebutkan bahwa rencana pengelolaan SDA yang sudah ditetapkan merupakan dasar penyusunan program dan rencana kegiatan setiap sektor yang terkait dengan sumber daya air, dan sebagai masukan dalam penyusunan, peninjauan kembali, dan/atau penyempurnaan rencana tata ruang wilayah yang bersangkutan. Sejalan dengan itu, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang – secara tidak langsung – menyebutkan bahwa penataan ruang harus memperhatikan kondisi fisik wilayah dan potensi berbagai sumber daya (termasuk sumber daya air). Lebih lanjut disebutkan bahwa rencana tata ruang meliputi sistem jaringan prasarana sumber daya air, kawasan lindung (termasuk kawasan konservasi), dan kawasan budi daya (termasuk daerah layanan irigasi). Karena itu, RTRW diharapkan menjadi pedoman untuk mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan antarsektor (termasuk pengelolaan SDA). Salah satu contoh kasus yang menarik untuk melihat keterkaitan pengelolaan sumber daya air dengan rencana tata
ruang wilayah adalah pembangunan Banjir Kanal Timur (BKT).Terlepas dari persoalan bagaimana sebaiknya menyikapi banjir di Jakarta, BKT telah direncanakan sejak tahun



1973. Master Plan for Drainage and Flood Control of Jakarta (dikenal sebagai Master Plan 1973) disusun sebagai rencana pengelolaan sumber daya air di ibukota Jakarta. Trase Banjir Kanal Timur di Master Plan 1973 lahan untuk trase BKT telah tersedia. Tentu bisa dibayangkan bagaimana sulitnya apabila sepanjang trase BKT telah berdiri pusat-pusat kegiatan ekonomi. Pilihan beratpun harus diputuskan yaitu membiarkan Jakarta terus “bersahabat” dengan banjir atau menguras anggaran untuk ganti rugi lahan. Pemerintah menyadari tidak mudah untuk mewujudkan pelaksaan master plan tersebut. Terbatasnya alokasi anggaran merupakan masalah klasik yang dihadapi setiap tahun.
Namun Pemerintah tetap bertekad untuk menjadikan ibukota negara, kawasan bebas banjir. Sejalan dengan upaya menemukan skenario pembiayaan yang tepat, Pemerintah Propinsi DKI Jakarta memasukkan rencana pembangunan tersebut ke dalam rencana tata ruang wilayahnya. Jadi secara umum, integrasi Pola PSDA ke dalam RTRW Propinsi atau Kabupaten/Kota diharapkan mampu memberikan jaminan pelaksanaan pengelolaan sumber daya air ke depan. Mengapa demikian? Karena, RTRW selain merupakan instrumen perencanaan, juga merupakan instrumen pengendalian pembangunan. RTRW memiliki “alat paksa” yaitu berupa ketentuan sanksi bagi setiap orang/pihak yang melanggarnya. Adanya rencana pembangunan BKT dalam Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 6 Tahun 1999 tentang “Rencana Tata Ruang Wilayah 2010,” membuat penyediaan lahan seluas 405,28 Ha yang terdiri dari 147,9 Ha di Jakarta Utara dan 257,3 Ha di Jakarta Timur, memungkinkan untuk dilakukan. Walau pembebasan lahan berjalan lambat, tetapi setidaknya
Integrasi Pola PSDA dengan RTRW
Walaupun secara umum pengintegrasian rencana pembangunan nasional ke dalam RTRW telah dilakukan, namun integrasi di bidang sumber daya air belum dilaksanakan secara utuh. Saat ini fokus integrasi sumber daya air dengan RTRW lebih banyak pada sistem jaringan prasarana SDA, yang meliputi jaringan SDA lintas negara dan lintas propinsi untuk mendukung air baku pertanian, jaringan SDA untuk kebutuhan air baku industri, jaringan air baku untuk kebutuhan air minum, dan sistem pengendalian banjir. Jika melihat bahwa pengelolaan SDA meliputi konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air, seharusnya integrasi dilakukan dengan menterjemahkan ketiga komponen tersebut ke dalam struktur ruang dan pola ruang di RTRW. Secara substansi, masukan Pola Pengelolaan SDA (PSDA) ke dalam RTRW sekurang- kurangnya memuat hal-hal berikut di bawah ini.
Pola/Rencana PSDA Penentuan besar/ukuran penggambaran prasarana sumber daya air perlu disesuaikan dengan ketentuan dalam penyusunan RTRW. Sebagai contoh masukan
Pola PSDA wilayah sungai ke dalam RTRW dapat dilihat pada Tabel berikut.
Contoh Masukan Pola PSDA ke dalam RTRW Bila tidak mungkin masuk dalam Peta, minimum ada dalam teks atau narasi Pengintegrasian rencana pengelolaan sumber daya air ke dalam RTRW harus dapat tercermin dalam tujuan, kebijakan dan strategi, baik di tingkat nasional, propinsi maupun kabupaten/kota. topik utama Pengintegrasian
juga perlu mempertimbangkan hirarki yang ada baik di dalam RTRW maupun dalam pengelolaan SDA. Hirarki RTRW disusun menurut tingkatan administrasi pemerintahan, yaitu berupa RTRW Nasional, RTRW Propinsi, dan RTRW Kabupaten/Kota. Sedangkan dalam pengelolaan SDA, Pola PSDA disusun berdasarkan Wilayah Sungai (WS) RUANG WILAYAH Lintas Negara, WS Lintas Propinsi, WS Strategis Nasional, WS Lintas Kabupaten/Kota, dan WS satu Kabupaten/Kota. Apabila digambarkan, bentuk keterkaitan yang dapat terjadi antara RTRW dengan Pola PSDA Wilayah Sungai adalah seperti terlihat pada Gambar 5 dibawah ini.
Keterkaitan Antara Rencana Tata Ruang Wilayah Dengan Pola Pengelolaan Sumber Daya Air Wilayah Sungai Lebih jauh, pengintegrasian rencana pengelolaan sumber daya air ke dalam RTRW harus dapat tercermin dalam tujuan, kebijakan dan strategi, baik di tingkat nasional, propinsi maupun kabupaten/kota. Terkait dengan hal ini perlu diperhatikan penentuan program yang memuat lokasi, besaran, sumber dana, instansi pelaksana, dan target waktu pelaksanaan. Tantangan, dan sekaligus kesempatan yang bisa dimanfaatkan, saat ini adalah belum semua daerah menyelesaikan RTRW dan Pola PSDA pada tingkat wilayah sungainya.
Jumlah RTRW yang telah disahkan (Perda) sampai dengan Juni 2011 baru mencapai 8 propinsi dan 25 kabupaten/kota. Sementara itu, pembuatan Pola PSDA di wilayah sungai yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat baru selesai 19 rancangan, dari total 68 rancangan pola. Karena itu, perlu segera disusun bahan integrasi Pola PSDA ke dalam RTRW berupa peta, teks/narasi, dan program yang disiapkan sekaligus ketika melakukan penyusunan Pola Pengelolaan SDA. Dalam hal ini momentum penyusunan RTRW 20 dan Penyusunan Pola PSDA di Provinsi maupun Kabupaten/Kota hendaknya dapat dimanfaatkan dengan baik. Pengintegrasian ini diharapkan dapat meminimalisir dampak perubahan pemanfaatan ruang seperti yang terjadi saat ini. Pada tatanan kebijakan, kebutuhan pengintegrasian Pola PSDA ke dalam RTRW Propinsi dan RTRW
Kabupaten/Kota sangat diperlukan untuk memastikan tersedianya lahan bagi pembangunan prasarana sumber daya air. Dengan demikian diharapkan tujuan pembangunan sumber daya air sebagai bagian dari pembangunan nasional dapat mewujudkan kemanfaatan sumber daya air yang berkelanjutan untuk kemakmuran rakyat. Akhir kata dapat disampaikan bahwa antara Pola Pengelolaan Sumber Daya Air dan Rencana Tata Ruang Wilayah terdapat hubungan yang bersifat dinamis dan terbuka untuk saling menyesuaikan. Pola PSDA menjadi salah satu unsur dalam penyusunan dan perbaikan RTRW, dan sebaliknya pengembangan sumber daya air harus didasarkan pada RTRW yang telah disusun.

1 komentar:

  1. Casinos in Malta - Filmfile Europe
    Find 바카라 사이트 the best Casinos in nba매니아 Malta including bonuses, https://vannienailor4166blog.blogspot.com/ games, aprcasino games and the history of games. We cover all the main reasons to visit kadangpintar Casinos in

    BalasHapus