Kamis, 17 Januari 2019

Kebijakan pemda dan pemodelan manajemen sumber daya air




Air merupakan sumberdaya alam yang makin
langka dan kritis akibat berbagai tekanan kehidupan. Di
dunia diperkirakan ada 1,4 km3 air, 97,3% merupakan
air laut dan 2,7% merupakan air di permukaan bumi.
Dari 2,7% air di permukaan bumi, 77,3% merupakan
salju dan geyser; 22,4% air tanah dan resapan (itupun
yang dapat dijangkau hanya 0,79%); air rawa dan danau
0,0035%; uap air 0,004%; dan air sungai 0,00001%.
Dari beberapa sumber air di atas, sumber air yang
dapat dijangkau oleh masyarakat dan Perusahaan
Daerah Air Minum (PDAM) adalah air tanah yaitu dari
sumur dangkal dan artesis sebesar 0,79%; air sungai;
dan sumber mata air yang belum dikuasai oleh sektor
swasta atau produsen Air Minum Dalam Kemasan
(AMDK). Namun kondisi sungai yang merupakan
penyedia sumber daya air, memiliki masalah tersendiri.
Pergantian musim hujan dan kemarau membuat kondisi
sungai tidak stabil antara banjir dan kekeringan,
ditambah lagi masalah pencemaran berbagai limbah
industri dan domestik yang menjadikan air di sungai
menjadi tidak layak dikonsumsi.
Sungai atau daerah aliran sungai merupakan suatu
sumber daya air yang memiliki karakteristik yang khas
dan sifat yang berbeda dengan sumberdaya lainnya.
Keberadaan sungai dengan sifatnya yang mengalir dari
hulu ke hilir memiliki potensi opportunity value dan
externality effect antara hulu-hilir atau di sepanjang
aliran sungai (Pangesti, 2000, 2002). Sifat sungai yang
mengalir dan melintasi batas wilayah administratif dan
bahkan negara, banyak pihak yang berkepentingan dan
atas nama “hak” yang dimilikinya, terjadi eksploitasi
sesuai dengan tujuan masing-masing yang spesifik.
Keadaan ini berpotensi memunculkan kompetisi dan
konflik, baik yang bersifat horisontal maupun vertikal.
Konflik yang dimaksud antara lain konflik kuantitas
berkaitan dengan kelangkaan, konflik kualitas karena
pencemaran dan kerusakan lingkungan, konflik
organisasional, karena pengelolaan yang fragmentaris
dan sektoral atau kewilayahan administratif, konflik
nilai berkaitan dengan pandangan penguasaan dan
pemanfaatan sumber air sebagai barang publik atau
privat dan komoditas ekonomi global. Ironisnya dan
sekaligus juga paradoks, yaitu manakala terjadi hal-hal
negatif pada aliran sungai, seperti pencemaran, banjir,
dan kekeringan, masing-masing pihak cenderung
saling menyalahkan. Melihat banyaknya organisasi
yang terlibat atau memanfaatkan Sungai Citarum
memperlihatkan bahwa pengelolaan tidak dapat di
lakukan oleh satu pihak saja. Tetapi harus melibatkan
pihak lainnya dalam suatu konsep multipihak. Tujuan
dari penelitian ini adalah untuk menganalisis manajemen
kebijakan sektor publik pada pengelolaan Sungai
Citarum denagn paradigma Governance berdasarkan
tiga pilar: state, civil society dan private.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan dengan mengambil obyek
pada pengelolaan Sungai Citarum. Di lintasan Sungai
Citarum, terdapat berbagai instansi pemerintah, swasta,
dan organisasi kemasyarakatan yang mengelola dan
memanfaatkan keberadaan Sungai Citarum tersebut.
Instansi pemerintah dan perusahaan antara lain PLTA,
PDAM, BBWS Citarum, BPSDA, BPDAS, dll,
Abstract. The aim of this research is to analyze the public sector policy management in the management of Citarum
river by using governance paradigm. The research used qualititive approach by using triangular sources techniques
consisting of: the state, civil society, and private sector. The result shows that the management of drainage basin becomes
a public matter involving the three main governance actors. However, the involvement of these three actors entails
three implications: (1) the addition of core competence principle to the distribution of authority among actors, apart
from ultra vires and general competence principles; (2) the addition of accessibility and effectiveness criteria in the
affair distribution among the actors, apart from externality, efficiency, and accountability criteria; and (3) the revision
of Government Regulation Number 38 year 2007 particularly on the affair distribution that involves non-state elements
(civil society and private sectors) according to governance paradigm. More over there has been a need to revise the
regulations related to the management of drainage basin.
Keywords: governance, public policy, civil society, drainage basin
*Korespondensi: +6281 2200 3228; harja_63@unpad.ac.id
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Mei-Agustus 2009, hlm. 82-86 Volume 16, Nomor 2
ISSN 0854-3844
Sedangkan organisasi kemasyarakatan antara lain Mitra
Cai, P3A, GP3A, LPC, Masyarakat Cinta Citarum,
dll. Di sinilah urgensinya pengelolaan menggunakan
pendekatan atau paradigma governance.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan
metode penelitian kualitatif. Konsisten dengan metode,
data dikumpulkan dengan teknik triangulasi sumber,
meliputi studi pustaka, angket, wawancara mendalam,
dan diskusi stakeholder. Unit analisis penelitian ini
pada level organisasi, sesuai dengan pokok bahasan
governance yang meliputi tiga pilar: state, civil society,
dan private.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Kewenangan dan Urusan Pengelolaan Sungai
dalam Tinjauan Teknis dan Organisasi
Ada persoalan prinsip yang melekat dalam pengelolaan
daerah aliran sungai (DAS). Pertama, dalam kerangka
desentralisasi dan otonomi daerah memungkinkan
masing-masing wilayah administratif membagi aliran
sungai sesuai dengan wilayah masing-masing. Hal ini
memungkinkan terjadinya benturan kewenangan dan
kepentingan. Kedua, sungai merupakan sumberdaya
yang mengalir, tidak mengenal batas-batas wilayah
administratif dan secara teknis tidak memungkinkan
aliran sungai dihentikan atau dialihkan ke wilayah
lain, sesuai dengan kewenangan setiap instansi atau
organisasi. Konsekuensinya pengelolaan daerah
aliran sungai tidak memungkinkan untuk dilakukan
secara sektoral-mandiri oleh masing-masing instansi
pemerintah atau organisasi yang berkepentingan dan
yang berada dalam lintasan daerah aliran sungai tersebut.
Urusan pemerintahan, khususnya urusan pemerintahan
daerah merupakan bagian dari desentralisasi. Namun
banyak makna dalam desentralisasi. Pada konteks ini,
terdapat ketidaksepakatan mengenai makna desentralisasi
itu sendiri. Banyak pihak yang sepakat bahwa pengalihan
kekuasan dan sumberdaya kepada pemerintahan daerah
bukanlah suatu bentuk desentralisasi. Meskipun begitu,
banyak yang mengasumsikan bahwa desentralisasi
pada konteks ini juga termasuk transfer kekuasaan dan
sumberdaya dari pemerintahan pusat (Schneider, 2003).
Desentralisasi didefinisikan sebagai penyerahan
kekuasaan, pelimpahan kekuasaan, penyebaran
dan pemencaran kekuasaan. Desentralisasi juga
didefinisikan sebagai penyerahan urusan (function)
dan kewenangan (authority) dari pemerintahan yang
lebih tinggi kepada organisasi atau lembaga ditingkat
yang lebih rendah atau kepada individu (Agusalim,
2007). Cheema , Nellis, dan Rondinelli (1983) juga
memberikan pengertian desentralisasi dalam arti yang
lebih luas “...the transfer of authority to plan, make
decision and manage public function from higher level
of government to any individual organization or agency
at lower level” Pendapat Cheema dkk. ini menggariskan
bahwa kendati desentralisasi itu berasal dari pemerintah
(pusat), tapi penyerahannya tidak selalu kepada
pemerintah daerah saja. Penyerahan ini dapat pula
diberikan kepada suatu organisasi, badan atau bahkan
kepada individu. Terkadang desentralisasi dijadikan
bertalian dengan dekonsentrasi. Di sini terjadi peran
ganda, antara sebagai administrasi lapangan dengan
sebagai perangkat pemerintahan umum (Ridwan, 2005).
Pengelolaan daerah aliran sungai merupakan
salah satu kewenangan pemerintah yang dapat
didesentralisasikan berdasarkan authority maupun
urusan (fungsi). Bentuknya sendiri dapat mengacu
kepada model pembagian Cheema dan Rondinelli
(Agusalim, 2007) yaitu dekonsentrasi, delegasi kepada
organisasi parastral atau semi otonom, devolusi,
privatisasi atau transfer urusan dari pemerintah kepada
lembaga non pemerintah.
Konteks penyerahan urusan sendiri dikenal dengan
tiga pendekatan yaitu ultra vires, general competence,
dan campuran perpaduan keduanya. Pengelolaan DAS
secara eksplisit merupakan urusan pemerintahan di
bidang kehutanan. Namun, sebagaimana diketahui
dalam DAS, melekat juga wilayah sungai yang mengalir.
Urusan pengelolaan sungai secara eksplisit menjadi
urusan pemerintahan bidang pekerjaan umum diatur
dalam PP Nomor 38 Tahun 2007. Dengan demikian
terdapat dua instansi pemerintah yang bersama-sama
mengurusi satu entitas dalam daerah aliran sungai.
Pembagian urusan pemerintahan dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 menetapkan tiga kriteria
sebagai dasar pembagian yaitu eksternalitas, akuntabilitas,
dan efisiensi. Kriteria eksternalitas adalah kriteria
pembagian dengan memperhatikan dampak yang timbul
dari penyelenggaraan suatu urusan apakah lokal, regional,
atau nasional. Kriteria akuntabilitas, kriteria pembagian
urusan berdasarkan tanggung jawab penyelenggaraan
urusan kepada masyarakat bersifat lokal, regional atau
nasional. Kriteria efisiensi yaitu pembagian urusan
berdasarkan daya guna tertinggi yang dapat diperoleh dari
penyelenggaraan urusan pemerintahan.
Kriteria tersebut tidak memadai jika diterapkan
pada pengelolaan sungai. Hal ini dikarenakan, pertama,
berdasarkan pada kriteria eksternalitas, dampak aliran
sungai bukan hanya dampak lintas daerah atau regional
tetapi juga dampak lintas stakeholder, lintas fungsi,
dan lintas departemen/instansi/organisasi. Kedua,
mendasarkan pada kriteria efisiensi, apabila diserahkan
pada satu instansi saja tidak cukup karena pengelolaan
sungai bersifat sangat kompleks dan mahal. Ketiga,
penerapan kriteria akuntabilitas pada satu tingkatan
pemerintahan juga tidak cukup. Hal ini karena dalam
kenyataan aliran sungai tidak benar-benar secara eksak
berada dalam satu lingkup/batas wilayah administrasi
pemerintahan tertentu, tetapi selalu bersambung dengan
wilayah administrasi lainnya.
Jika dicermati, pembagian urusan pemerintahan
sebagaimana dituangkan dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 38 Tahun 2007 masih menggunakan paradigma
RAHARJA, GOVERNANCE PENGELOLAAN SUNGAI 83
lama dalam penyelenggaraan pemerintahan yang
bertumpu pada government. Penggunaan paradigma
lama dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun
2007 dapat ditelaah dalam pasal-pasal maupun
penjelasannya. Pasal 1 ketentuan umum tentang urusan
pemerintahan menjelaskan .... urusan pemerintahan
adalah fungsi-fungsi pemerintahan yang menjadi hak
dan kewajiban setiap tingkatan dan/atau susunan
pemerintahan untuk mengatur dan mengurus fungsifungsi
tersebut yang menjadi kewenangannya dalam
rangka melindungi, melayani, memberdayakan,
dan menyejahterakan masyarakat.....”. Hal ini juga
dipertegas dalam pasal 2 ayat (1) yang menyatakan “....
Urusan pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan
yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah
dan urusan pemerintahan yang dibagi bersama
antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan...”.
Ketentuan umum maupun pasal dalam dalam PP 38
tahun 2007 tersebut sama sekali tidak menyinggung atau
menyebut sektor privat atau civil society sebagai unsur
yang terlibat atau dilibatkan dalam penyelenggaraan
urusan pemerintahan.
Penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007
tentang desentralisasi juga menyiratkan dan menyuratkan
tidak dilibatkannya unsur di luar pemerintah dalam
urusan pemerintahan. Penyelenggaraan desentralisasi
mensyaratkan pembagian urusan pemerintahan antara
pemerintah dengan pemerintahan daerah. Urusan
pemerintahan terdiri dari urusan pemerintahan yang
sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah dan
urusan pemerintahan yang dikelola secara bersama antar
tingkatan dan susunan pemerintahan.
Paradigma penyelenggaraan pemerintahan telah
bergeser dari government ke governance yang bercirikan
“...adanya multi-aktor dalam penyelenggaraan
pemerintahan, aktor tersebut meliputi state, civil society
dan privat. Keterlibatan para aktor ini mengakhiri
monopoli state dalam penyelenggaraan pemerintahan”
(Prasojo, 2007; Muluk).
Berdasarkan terminologi umum, governance
dipahami sebagai keterkaitan antar organisasi, pelibatan
lembaga publik dalam formulasi dan implementasi
kebijakan, serta terhubungnya berbagai organisasi untuk
melaksanakan tujuan-tujuan publik (Keban, 2004).
Perluasan makna tentang governance juga dikemukakan
Rhodes (2002), yaitu (1) governance sebagai corporate
governance, (2) governance sebagai new public
management, (3) governance sebagai good governance,
(4) governance sebagai international interdependence,
(5) governance sebagai socio cybernetic system, (6)
governance sebagai new political economy, dan (7)
governance sebagai network.
Governance sebagai networks juga memiliki
beberapa makna yaitu (1) cara para stakeholder
berinteraksi untuk mempengaruhi kebijakan, (2) pola
atau struktur yang muncul dalam sistem sosial politik
sebagai keluaran bersama dari seluruh aktor yang
terlibat, (3) koordinasi antar swasta dan publik baik
secara formal maupun informal, (4) konsep atau teori
yang mencerminkan koordinasi suatu sistem sosial
(Laffer, 2002; Pierre)
Konsep networks sebagai bentuk spesifik dari
governance dalam menganalisis relasi antar aktor/
organisasi diimplementasikan dalam berbagai bentuk
(mode of governance) atau mode of governing. Koiman
mengemukakan beberapa mode of governing yaitu
co-governing dan mixed mode governing (Kooiman,
2000; Pierre). Co-governing dicirikan dengan dominasi
hubungan yang bersifat horizontal dan kesetaraan antar
pihak yang berelasi. Pada co-governing, para pihak
bekerja sama, berkoordinasi, dan berkomunikasi tanpa
terlalu didominasi oleh aktor pengatur.
Ada beberapa tipe dari modus co-governance, yaitu
(1) public private partnership yang menekankan cooperation
; (2) communicative governing, yaitu suatu
proses belajar dan penyesuaian pola perilaku dalam
pengelolaan perubahan structural sebagai tanggung
jawab bersama; (3) responsive regulation, dimana
institusi-institusi kunci dalam tatatan sosial (masyarakat,
negara, dan asosiasi) berpartisipasi secara langsung.
Mixed mode governing mencirikan berperannya
masyarakat sipil, pasar, dan pemerintah secara mixed
(bercampur). Pada saat bersamaan peran sentral
pemerintah secara langsung menurun, sehingga bergeser
menjadi mitra kerja dan fasilitator melalui bentuk
pengaturan bersama (shared governance). Argumentasi
model ini didasarkan pada pemikiran bahwa masalah
kolektif bersifat kompleks dan dinamis yang dalam
penanganannya memerlukan pembagian tanggung jawab
dan aransemen bersama.
Mengacu kepada makna governance sebagai network
maka keterlibatan aktor non state dalam pengelolaan
sungai merupakan suatu keharusan. Oleh karena itu,
penerapan kriteria pembagian urusan pemerintahan yang
bertumpu pada tiga kriteria yang disebutkan terdahulu,
dipandang tidak cukup memadai. Sehubungan dengan
itu, perlu ditambahkan setidaknya dua kriteria tambahan
yaitu aksesibilitas dan efektivitas.
Kriteria aksesibilitas adalah pengelolaan urusan
dengan mempertimbangkan instansi atau organisasi
apa yang (1) paling dekat dengan lokasi, (2) paling
mengetahui tata cara pengelolaan sesuai dengan nilainilai
kearifan lokal yang berlaku, serta (3) paling dekat
dengan masyarakat yang terkena dampak suatu urusan
dijalankan. Penelitian di Sungai Citarum Jawa Barat
misalnya ditemukan bahwa kendati masalah yang terjadi
secara organisatoris merupakan urusan pemerintah
pusat, justru masyarakat mengajukan tuntutan kepada
pemerintah daerah setempat melalui LSM. Berdasarkan
ini, maka terdapat dua organisasi yang memenuhi kriteria
aksesibilitas yaitu organisasi pemerintah daerah setempat
dan organisasi swadaya masyarakat (non-state).
Pada kerangka yang lebih luas, kriteria ini juga terkait
dengan konsep kebijakan publik dan otonomi daerah.
Sebagaimana diketahui sasaran kebijakan otonomi daerah
adalah untuk kesejahteraan, kemakmuran, dan pelayanan
publik yang lebih baik. Implementasinya harus sesuai
dengan content, context, dan kondisi lapangan. Dalam
hal ini masyarakat setempat lebih tahu apa yang harus
dilakukan. Di samping masyarakat merupakan target group
dalam implementasi kebijakan yang secara teoritis target
group merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
implementasi kebijakan, di samping pelaksana kebijakan
(Suwaryo, 2005).
Kriteria efektivitas adalah pengelolaan urusan dengan
mempertimbangkan hasil guna tertinggi yang diperoleh
dari suatu penyelenggaraan urusan pemerintahan.
Kriteria hasil guna diukur bukan hanya dalam perspektif
berjalannya program dan tercapainya tujuan/urusan
pemerintahan saja, tetapi tercapainya tujuan berdasarkan
perspektif para stakeholder lainnya. Kriteria efektivitas
juga berkaitan dengan kebijakan publik dan otonomi
daerah. Berhasil tidaknya suatu kebijakan tergantung
kepada insterest affected dari suatu masyarakat yaitu sejauh
mana kepentingan masyarakat terakomodasi oleh suatu
kebijakan dan dapat memberi ruang gerak, partisipasi dan
berbagi kekuasaan dengan masyarakat (Grindle, 2005;
Suwaryo).
Perlunya penerapan kriteria aksesibilitas maupun
efektivitas diperkuat oleh temuan penelitian Atmanto di
Citarum dan Ciliwung (2007). Atmanto mengemukakan
empat hal yang terkait dengan partisipasi masyarakat,
khususnya dalam pengelolaan sungai. Pertama, penerapan
ekohidraulik dalam pengelolan kualitas air sulit berhasil
tanpa melibatkan masyarakat. Kedua, adanya modal
sosial yang kuat dengan member ruang gerak peran serta
masyarakat. Ketiga, penerapan sosio hidraulik pada Sungai
Citarum telah berhasil dengan baik karena didukung oleh
konstribusi masyarakat. Keempat, pengelolaan air sungai
berbasis masyarakat terjadi penguatan karena masyarakat
memiliki kemampuan dalam mengelola sungai khususnya
dalam hal kualitas. Pengelolaan sumber daya air dengan
model Dharma Tirta menunjukan bahwa aksesibilitas dan
efektifitas ini berkaitan dengan kelembagaan birokrasi pada
level pelaksana daerah dan pola paternalisme keterlibatan
masyarakat setempat (Ridwan, 2006).

B. Pergeseran Prinsip dalam Ultra Vires and General Competence ke Core Competence
Tidak ditemukannya penjelasan tentang pembagian
kewenangan atau urusan yang bersifat perpaduan antara
doktrin ultra vires dan general competence mengundang
satu pertanyaan penting. Hal itu berkaitan dengan tidak
ada penjelasan resmi pembagian kewenangan campuran
tersebut seperti kewenangan apa saja? Apa dasar
pembagian? Apa kriteria distribusi pembagian? Dan
penetapan mana yang harus dibagi dan tidak dibagi?
Oleh karena itu, perlu diajukan satu doktrin atau
kriteria berdasarkan kompetensi inti (core competence).
Hal ini didasarkan atas pemikiran bahwa setiap
organisasi pada umumnya memiliki satu atau lebih
kompetensi inti. Penerapan doktrin ini, khususnya pada
pengelolaan sungai ini didasarkan pada beberapa hal.
Pertama, instansi atau organisasi tertentu yang terlibat
pada dasarnya memiliki kelebihan dibanding yang lain
dalam urusan atau kasus tertentu. Kedua, kelebihankelebihan
seperti (1) sektor society (masyarakat)
pada edukasi dan motivasi masyarakat, (2) kelebihan
sektor pemerintahan lokal pada aksesibilitas, artikulasi
persoalan dan urgensi penyelesaian kasus, (3) kelebihan
departemen teknis pada aspek teknis, (4) kelebihan
sektor private pada pengelolaan secara efisien, dan
(5) masyarakat lokal dengan pengetahuan tradisional
dan kearifan lokal. Ketiga, pengelolaan sungai pada
dasarnya adalah otonomi bersama di antara organisasi
yang terlibat dengan menggabungkan kompetensi inti
masing-masing.

C. Ilustrasi Empirik dalam Pengelolaan DAS Citarum
Dalam Pengelolaan DAS Citarum masih kuat terlihat
ego sektoral masing-masing instansi pemerintah maupun
organisasi masyarakat. Hal ini terlihat dari beberapa temuan
penelitian yang dikompilasi dari persepsi atau berdasarkan
perspektif pengelola saat ini. Temuan penelitian diringkas
sebagai berikut.
Pertama, dalam praktik pengelolaan DAS Citarum
masih terjadi benturan otoritas antara instansi pemerintah
pusat dengan pemerintah daerah bahkan dengan masyarakat
khususnya dalam menetapkan wilayah kewenangan. Hal
ini terlihat dalam otoritas pengelolaan dan pemberian izin
dalam area in-stream dan off –stream untuk DAS yang
sama.
Kedua, beberapa benturan kepentingan secara lebih
luas dapat dipaparkan sebagai berikut (1) perbedaan
kehendak antara masyarakat dengan instansi lain
dalam pemanfaatan lahan di sekitar DAS; (2) benturan
kepentingan antara pemerintah Kabupaten Bandung
dengan Propinsi Jawa Barat, khususnya dalam pemanfaatan
air permukaan; (3) benturan antara kemanfaatan ekonomi
dan kebutuhan akan pengendalian dampak lingkungan
yang terjadi karena inkonsistensi dan perbedaan sikap
dan posisi organisasi pengendali dampak lingkungan; (4)
benturan kepentingan antara pemerintah daerah, khususnya
di perbatasan. Aktivitas pemerintah daerah tertentu di
perbatasan, membawa dampak ke wilayah pemerintah
lainnya di seberang perbatasan; (5) benturan kepentingan
berkaitan dengan peran dan fungsi tiap instansi baik antara
instansi di daerah maupun antar instansi pemerintah daerah
dengan pemerintah pusat.

KESIMPULAN

Pengelolaan sungai merupakan urusan bersama
di antara organisasi, baik organisasi pemerintah pusat
maupun daerah (government sector), society (lembaga
swadaya masyarakat, dan masyarakat lokal setempat),
serta private. Implementasi kebijakan dari pengelolaan
RAHARJA, GOVERNANCE PENGELOLAAN SUNGAI 85
sungai sebagai urusan bersama memiliki implikasi.
Pertama, implikasi prinsip pembagian urusan
pemerintahan yaitu perlu ditambahkannya prinsip
pembagian kewenangan dari dua prinsip (ultra vires
dan general competence) menjadi tiga prinsip (ultra
vires, general competence, dan core competence).
Kedua, implikasi kriteria pembagian urusan dari
tiga kriteria (eksternalitas, efisiensi, akuntabilitas)
menjadi lima kriteria (eksternalitas, efisiensi, dan
akuntabilitas, aksesibilitas dan efektivitas). Ketiga,
implikasi kebijakan yaitu perlunya penyempurnaan
kembali Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007.
Pada hal ini khususnya dalam pembagian urusan yang
memasukan unsur nonstate sesuai dengan paradigma
baru penyelenggaraan pemerintahan, governance, yang
multi aktor yang terdiri unsur state, civil society, dan
private. Peraturan khusus terkait dengan sungai secara
umum juga perlu ditinjau kembali.