Air merupakan sumberdaya alam
yang makin
langka dan kritis akibat berbagai
tekanan kehidupan. Di
dunia diperkirakan ada 1,4 km3 air, 97,3%
merupakan
air laut dan 2,7% merupakan air
di permukaan bumi.
Dari 2,7% air di permukaan bumi,
77,3% merupakan
salju dan geyser; 22,4% air tanah
dan resapan (itupun
yang dapat dijangkau hanya
0,79%); air rawa dan danau
0,0035%; uap air 0,004%; dan air
sungai 0,00001%.
Dari beberapa sumber air di atas,
sumber air yang
dapat dijangkau oleh masyarakat
dan Perusahaan
Daerah Air Minum (PDAM) adalah
air tanah yaitu dari
sumur dangkal dan artesis sebesar
0,79%; air sungai;
dan sumber mata air yang belum
dikuasai oleh sektor
swasta atau produsen Air Minum
Dalam Kemasan
(AMDK). Namun kondisi sungai yang
merupakan
penyedia sumber daya air,
memiliki masalah tersendiri.
Pergantian musim hujan dan
kemarau membuat kondisi
sungai tidak stabil antara banjir
dan kekeringan,
ditambah lagi masalah pencemaran
berbagai limbah
industri dan domestik yang
menjadikan air di sungai
menjadi tidak layak dikonsumsi.
Sungai atau daerah aliran sungai
merupakan suatu
sumber daya air yang memiliki
karakteristik yang khas
dan sifat yang berbeda dengan
sumberdaya lainnya.
Keberadaan sungai dengan sifatnya
yang mengalir dari
hulu ke hilir memiliki potensi opportunity
value dan
externality
effect antara
hulu-hilir atau di sepanjang
aliran sungai (Pangesti, 2000,
2002). Sifat sungai yang
mengalir dan melintasi batas
wilayah administratif dan
bahkan negara, banyak pihak yang
berkepentingan dan
atas nama “hak” yang dimilikinya,
terjadi eksploitasi
sesuai dengan tujuan
masing-masing yang spesifik.
Keadaan ini berpotensi
memunculkan kompetisi dan
konflik, baik yang bersifat
horisontal maupun vertikal.
Konflik yang dimaksud antara lain
konflik kuantitas
berkaitan dengan kelangkaan,
konflik kualitas karena
pencemaran dan kerusakan
lingkungan, konflik
organisasional, karena
pengelolaan yang fragmentaris
dan sektoral atau kewilayahan
administratif, konflik
nilai berkaitan dengan pandangan
penguasaan dan
pemanfaatan sumber air sebagai
barang publik atau
privat dan komoditas ekonomi
global. Ironisnya dan
sekaligus juga paradoks, yaitu
manakala terjadi hal-hal
negatif pada aliran sungai,
seperti pencemaran, banjir,
dan kekeringan, masing-masing
pihak cenderung
saling menyalahkan. Melihat
banyaknya organisasi
yang terlibat atau memanfaatkan
Sungai Citarum
memperlihatkan bahwa pengelolaan
tidak dapat di
lakukan oleh satu pihak saja.
Tetapi harus melibatkan
pihak lainnya dalam suatu konsep
multipihak. Tujuan
dari penelitian ini adalah untuk
menganalisis manajemen
kebijakan sektor publik pada
pengelolaan Sungai
Citarum denagn paradigma Governance
berdasarkan
tiga pilar: state, civil
society dan private.
METODE
PENELITIAN
Penelitian dilakukan dengan
mengambil obyek
pada pengelolaan Sungai Citarum.
Di lintasan Sungai
Citarum, terdapat berbagai
instansi pemerintah, swasta,
dan organisasi kemasyarakatan
yang mengelola dan
memanfaatkan keberadaan Sungai
Citarum tersebut.
Instansi pemerintah dan
perusahaan antara lain PLTA,
PDAM, BBWS Citarum, BPSDA, BPDAS,
dll,
Abstract. The aim of this
research is to analyze the public sector policy management in the management of
Citarum
river by using governance
paradigm. The research used qualititive approach by using triangular sources
techniques
consisting of: the state, civil
society, and private sector. The result shows that the management of drainage
basin becomes
a public matter involving the
three main governance actors. However, the involvement of these three actors
entails
three implications: (1) the
addition of core competence principle to the distribution of authority among
actors, apart
from ultra vires and general
competence principles; (2) the addition of accessibility and effectiveness
criteria in the
affair distribution among the
actors, apart from externality, efficiency, and accountability criteria; and
(3) the revision
of Government Regulation Number 38
year 2007 particularly on the affair distribution that involves non-state
elements
(civil society and private
sectors) according to governance paradigm. More over there has been a need to
revise the
regulations related to the
management of drainage basin.
Keywords: governance, public
policy, civil society, drainage basin
*Korespondensi:
+6281 2200 3228; harja_63@unpad.ac.id
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan
Organisasi, Mei-Agustus
2009, hlm. 82-86 Volume 16, Nomor 2
ISSN 0854-3844
Sedangkan organisasi
kemasyarakatan antara lain Mitra
Cai, P3A, GP3A, LPC, Masyarakat
Cinta Citarum,
dll. Di sinilah urgensinya pengelolaan
menggunakan
pendekatan atau paradigma governance.
Penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan
metode penelitian kualitatif.
Konsisten dengan metode,
data dikumpulkan dengan teknik
triangulasi sumber,
meliputi studi pustaka, angket,
wawancara mendalam,
dan diskusi stakeholder.
Unit analisis penelitian ini
pada level organisasi, sesuai
dengan pokok bahasan
governance yang meliputi
tiga pilar: state, civil society,
dan private.
HASIL DAN
PEMBAHASAN
A. Kewenangan
dan Urusan Pengelolaan Sungai
dalam Tinjauan
Teknis dan Organisasi
Ada persoalan prinsip yang
melekat dalam pengelolaan
daerah aliran sungai (DAS). Pertama,
dalam kerangka
desentralisasi dan otonomi daerah
memungkinkan
masing-masing wilayah administratif
membagi aliran
sungai sesuai dengan wilayah
masing-masing. Hal ini
memungkinkan terjadinya benturan
kewenangan dan
kepentingan. Kedua, sungai
merupakan sumberdaya
yang mengalir, tidak mengenal
batas-batas wilayah
administratif dan secara teknis
tidak memungkinkan
aliran sungai dihentikan atau
dialihkan ke wilayah
lain, sesuai dengan kewenangan
setiap instansi atau
organisasi. Konsekuensinya
pengelolaan daerah
aliran sungai tidak memungkinkan
untuk dilakukan
secara sektoral-mandiri oleh
masing-masing instansi
pemerintah atau organisasi yang
berkepentingan dan
yang berada dalam lintasan daerah
aliran sungai tersebut.
Urusan pemerintahan, khususnya
urusan pemerintahan
daerah merupakan bagian dari
desentralisasi. Namun
banyak makna dalam
desentralisasi. Pada konteks ini,
terdapat ketidaksepakatan
mengenai makna desentralisasi
itu sendiri. Banyak pihak yang
sepakat bahwa pengalihan
kekuasan dan sumberdaya kepada
pemerintahan daerah
bukanlah suatu bentuk
desentralisasi. Meskipun begitu,
banyak yang mengasumsikan bahwa
desentralisasi
pada konteks ini juga termasuk
transfer kekuasaan dan
sumberdaya dari pemerintahan
pusat (Schneider, 2003).
Desentralisasi didefinisikan
sebagai penyerahan
kekuasaan, pelimpahan kekuasaan,
penyebaran
dan pemencaran kekuasaan.
Desentralisasi juga
didefinisikan sebagai penyerahan
urusan (function)
dan kewenangan (authority) dari
pemerintahan yang
lebih tinggi kepada organisasi
atau lembaga ditingkat
yang lebih rendah atau kepada
individu (Agusalim,
2007). Cheema , Nellis, dan
Rondinelli (1983) juga
memberikan pengertian
desentralisasi dalam arti yang
lebih luas “...the transfer of
authority to plan, make
decision and
manage public function from higher level
of government to
any individual organization or agency
at lower level” Pendapat Cheema
dkk. ini menggariskan
bahwa kendati desentralisasi itu
berasal dari pemerintah
(pusat), tapi penyerahannya tidak
selalu kepada
pemerintah daerah saja.
Penyerahan ini dapat pula
diberikan kepada suatu
organisasi, badan atau bahkan
kepada individu. Terkadang
desentralisasi dijadikan
bertalian dengan dekonsentrasi.
Di sini terjadi peran
ganda, antara sebagai
administrasi lapangan dengan
sebagai perangkat pemerintahan
umum (Ridwan, 2005).
Pengelolaan daerah aliran sungai
merupakan
salah satu kewenangan pemerintah
yang dapat
didesentralisasikan berdasarkan authority
maupun
urusan (fungsi). Bentuknya
sendiri dapat mengacu
kepada model pembagian Cheema dan
Rondinelli
(Agusalim, 2007) yaitu
dekonsentrasi, delegasi kepada
organisasi parastral atau semi
otonom, devolusi,
privatisasi atau transfer urusan
dari pemerintah kepada
lembaga non pemerintah.
Konteks penyerahan urusan sendiri
dikenal dengan
tiga pendekatan yaitu ultra
vires, general competence,
dan campuran perpaduan keduanya.
Pengelolaan DAS
secara eksplisit merupakan urusan
pemerintahan di
bidang kehutanan. Namun,
sebagaimana diketahui
dalam DAS, melekat juga wilayah
sungai yang mengalir.
Urusan pengelolaan sungai secara
eksplisit menjadi
urusan pemerintahan bidang
pekerjaan umum diatur
dalam PP Nomor 38 Tahun 2007.
Dengan demikian
terdapat dua instansi pemerintah
yang bersama-sama
mengurusi satu entitas dalam
daerah aliran sungai.
Pembagian urusan pemerintahan
dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007
menetapkan tiga kriteria
sebagai dasar pembagian yaitu
eksternalitas, akuntabilitas,
dan efisiensi. Kriteria
eksternalitas adalah kriteria
pembagian dengan memperhatikan
dampak yang timbul
dari penyelenggaraan suatu urusan
apakah lokal, regional,
atau nasional. Kriteria
akuntabilitas, kriteria pembagian
urusan berdasarkan tanggung jawab
penyelenggaraan
urusan kepada masyarakat bersifat
lokal, regional atau
nasional. Kriteria efisiensi
yaitu pembagian urusan
berdasarkan daya guna tertinggi
yang dapat diperoleh dari
penyelenggaraan urusan
pemerintahan.
Kriteria tersebut tidak memadai
jika diterapkan
pada pengelolaan sungai. Hal ini
dikarenakan, pertama,
berdasarkan pada kriteria
eksternalitas, dampak aliran
sungai bukan hanya dampak lintas
daerah atau regional
tetapi juga dampak lintas stakeholder,
lintas fungsi,
dan lintas
departemen/instansi/organisasi. Kedua,
mendasarkan pada kriteria
efisiensi, apabila diserahkan
pada satu instansi saja tidak
cukup karena pengelolaan
sungai bersifat sangat kompleks
dan mahal. Ketiga,
penerapan kriteria akuntabilitas
pada satu tingkatan
pemerintahan juga tidak cukup.
Hal ini karena dalam
kenyataan aliran sungai tidak
benar-benar secara eksak
berada dalam satu lingkup/batas
wilayah administrasi
pemerintahan tertentu, tetapi
selalu bersambung dengan
wilayah administrasi lainnya.
Jika dicermati, pembagian urusan
pemerintahan
sebagaimana dituangkan dalam
Peraturan Pemerintah
Nomor 38 Tahun 2007 masih
menggunakan paradigma
RAHARJA, GOVERNANCE PENGELOLAAN
SUNGAI 83
lama dalam penyelenggaraan
pemerintahan yang
bertumpu pada government. Penggunaan
paradigma
lama dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 38 Tahun
2007 dapat ditelaah dalam
pasal-pasal maupun
penjelasannya. Pasal 1 ketentuan
umum tentang urusan
pemerintahan menjelaskan “ ....
urusan pemerintahan
adalah
fungsi-fungsi pemerintahan yang menjadi hak
dan kewajiban
setiap tingkatan dan/atau susunan
pemerintahan
untuk mengatur dan mengurus fungsifungsi
tersebut yang
menjadi kewenangannya dalam
rangka
melindungi, melayani, memberdayakan,
dan
menyejahterakan masyarakat.....”. Hal ini juga
dipertegas dalam pasal 2 ayat (1)
yang menyatakan “....
Urusan
pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan
yang sepenuhnya
menjadi kewenangan Pemerintah
dan urusan
pemerintahan yang dibagi bersama
antar tingkatan
dan/atau susunan pemerintahan...”.
Ketentuan umum maupun pasal dalam
dalam PP 38
tahun 2007 tersebut sama sekali
tidak menyinggung atau
menyebut sektor privat atau civil
society sebagai unsur
yang terlibat atau dilibatkan
dalam penyelenggaraan
urusan pemerintahan.
Penjelasan Peraturan Pemerintah
Nomor 38 tahun 2007
tentang desentralisasi juga
menyiratkan dan menyuratkan
tidak dilibatkannya unsur di luar
pemerintah dalam
urusan pemerintahan. Penyelenggaraan
desentralisasi
mensyaratkan pembagian urusan
pemerintahan antara
pemerintah dengan pemerintahan
daerah. Urusan
pemerintahan terdiri dari urusan
pemerintahan yang
sepenuhnya menjadi kewenangan
pemerintah dan
urusan pemerintahan yang dikelola
secara bersama antar
tingkatan dan susunan
pemerintahan.
Paradigma penyelenggaraan
pemerintahan telah
bergeser dari government ke
governance yang bercirikan
“...adanya
multi-aktor dalam penyelenggaraan
pemerintahan,
aktor tersebut meliputi state, civil society
dan privat.
Keterlibatan para aktor ini mengakhiri
monopoli state dalam
penyelenggaraan pemerintahan”
(Prasojo, 2007; Muluk).
Berdasarkan terminologi umum, governance
dipahami sebagai keterkaitan
antar organisasi, pelibatan
lembaga publik dalam formulasi dan
implementasi
kebijakan, serta terhubungnya
berbagai organisasi untuk
melaksanakan tujuan-tujuan publik
(Keban, 2004).
Perluasan makna tentang governance
juga dikemukakan
Rhodes (2002), yaitu (1) governance
sebagai corporate
governance, (2) governance
sebagai new public
management, (3) governance
sebagai good governance,
(4) governance sebagai international
interdependence,
(5) governance sebagai socio
cybernetic system, (6)
governance sebagai new
political economy, dan (7)
governance sebagai network.
Governance sebagai networks
juga memiliki
beberapa makna yaitu (1) cara
para stakeholder
berinteraksi untuk mempengaruhi
kebijakan, (2) pola
atau struktur yang muncul dalam
sistem sosial politik
sebagai keluaran bersama dari
seluruh aktor yang
terlibat, (3) koordinasi antar
swasta dan publik baik
secara formal maupun informal,
(4) konsep atau teori
yang mencerminkan koordinasi
suatu sistem sosial
(Laffer, 2002; Pierre)
Konsep networks sebagai
bentuk spesifik dari
governance dalam
menganalisis relasi antar aktor/
organisasi diimplementasikan
dalam berbagai bentuk
(mode of governance) atau mode
of governing. Koiman
mengemukakan beberapa mode of
governing yaitu
co-governing dan mixed
mode governing (Kooiman,
2000; Pierre). Co-governing dicirikan
dengan dominasi
hubungan yang bersifat horizontal
dan kesetaraan antar
pihak yang berelasi. Pada co-governing,
para pihak
bekerja sama, berkoordinasi, dan
berkomunikasi tanpa
terlalu didominasi oleh aktor
pengatur.
Ada beberapa tipe dari modus co-governance,
yaitu
(1) public private partnership
yang menekankan cooperation
; (2) communicative
governing, yaitu suatu
proses belajar dan penyesuaian
pola perilaku dalam
pengelolaan perubahan structural
sebagai tanggung
jawab bersama; (3) responsive
regulation, dimana
institusi-institusi kunci dalam
tatatan sosial (masyarakat,
negara, dan asosiasi)
berpartisipasi secara langsung.
Mixed mode
governing mencirikan
berperannya
masyarakat sipil, pasar, dan
pemerintah secara mixed
(bercampur). Pada saat bersamaan
peran sentral
pemerintah secara langsung
menurun, sehingga bergeser
menjadi mitra kerja dan
fasilitator melalui bentuk
pengaturan bersama (shared
governance). Argumentasi
model ini didasarkan pada
pemikiran bahwa masalah
kolektif bersifat kompleks dan
dinamis yang dalam
penanganannya memerlukan
pembagian tanggung jawab
dan aransemen bersama.
Mengacu kepada makna governance
sebagai network
maka keterlibatan aktor non
state dalam pengelolaan
sungai merupakan suatu keharusan.
Oleh karena itu,
penerapan kriteria pembagian
urusan pemerintahan yang
bertumpu pada tiga kriteria yang
disebutkan terdahulu,
dipandang tidak cukup memadai.
Sehubungan dengan
itu, perlu ditambahkan setidaknya
dua kriteria tambahan
yaitu aksesibilitas dan efektivitas.
Kriteria aksesibilitas adalah
pengelolaan urusan
dengan mempertimbangkan instansi
atau organisasi
apa yang (1) paling dekat dengan
lokasi, (2) paling
mengetahui tata cara pengelolaan
sesuai dengan nilainilai
kearifan lokal yang berlaku,
serta (3) paling dekat
dengan masyarakat yang terkena
dampak suatu urusan
dijalankan. Penelitian di Sungai
Citarum Jawa Barat
misalnya ditemukan bahwa kendati
masalah yang terjadi
secara organisatoris merupakan
urusan pemerintah
pusat, justru masyarakat mengajukan
tuntutan kepada
pemerintah daerah setempat
melalui LSM. Berdasarkan
ini, maka terdapat dua organisasi
yang memenuhi kriteria
aksesibilitas yaitu organisasi
pemerintah daerah setempat
dan organisasi swadaya masyarakat
(non-state).
Pada kerangka yang lebih luas,
kriteria ini juga terkait
dengan konsep kebijakan publik
dan otonomi daerah.
Sebagaimana diketahui sasaran
kebijakan otonomi daerah
adalah untuk kesejahteraan,
kemakmuran, dan pelayanan
publik yang lebih baik.
Implementasinya harus sesuai
dengan content, context,
dan kondisi lapangan. Dalam
hal ini masyarakat setempat lebih
tahu apa yang harus
dilakukan. Di samping masyarakat
merupakan target group
dalam implementasi kebijakan yang
secara teoritis target
group merupakan salah
satu faktor yang mempengaruhi
implementasi kebijakan, di
samping pelaksana kebijakan
(Suwaryo, 2005).
Kriteria efektivitas adalah
pengelolaan urusan dengan
mempertimbangkan hasil guna
tertinggi yang diperoleh
dari suatu penyelenggaraan urusan
pemerintahan.
Kriteria hasil guna diukur bukan
hanya dalam perspektif
berjalannya program dan
tercapainya tujuan/urusan
pemerintahan saja, tetapi
tercapainya tujuan berdasarkan
perspektif para stakeholder
lainnya. Kriteria efektivitas
juga berkaitan dengan kebijakan
publik dan otonomi
daerah. Berhasil tidaknya suatu
kebijakan tergantung
kepada insterest affected dari
suatu masyarakat yaitu sejauh
mana kepentingan masyarakat terakomodasi
oleh suatu
kebijakan dan dapat memberi ruang
gerak, partisipasi dan
berbagi kekuasaan dengan
masyarakat (Grindle, 2005;
Suwaryo).
Perlunya penerapan kriteria
aksesibilitas maupun
efektivitas diperkuat oleh temuan
penelitian Atmanto di
Citarum dan Ciliwung (2007).
Atmanto mengemukakan
empat hal yang terkait dengan
partisipasi masyarakat,
khususnya dalam pengelolaan
sungai. Pertama, penerapan
ekohidraulik dalam pengelolan
kualitas air sulit berhasil
tanpa melibatkan masyarakat. Kedua,
adanya modal
sosial yang kuat dengan member
ruang gerak peran serta
masyarakat. Ketiga,
penerapan sosio hidraulik pada Sungai
Citarum telah berhasil dengan
baik karena didukung oleh
konstribusi masyarakat. Keempat,
pengelolaan air sungai
berbasis masyarakat terjadi penguatan
karena masyarakat
memiliki kemampuan dalam
mengelola sungai khususnya
dalam hal kualitas. Pengelolaan
sumber daya air dengan
model Dharma Tirta menunjukan
bahwa aksesibilitas dan
efektifitas ini berkaitan dengan
kelembagaan birokrasi pada
level pelaksana daerah dan pola
paternalisme keterlibatan
masyarakat setempat (Ridwan,
2006).
B. Pergeseran
Prinsip dalam Ultra Vires and General Competence ke Core Competence
Tidak ditemukannya penjelasan
tentang pembagian
kewenangan atau urusan yang
bersifat perpaduan antara
doktrin ultra vires dan general
competence mengundang
satu pertanyaan penting. Hal itu
berkaitan dengan tidak
ada penjelasan resmi pembagian
kewenangan campuran
tersebut seperti kewenangan apa
saja? Apa dasar
pembagian? Apa kriteria
distribusi pembagian? Dan
penetapan mana yang harus dibagi
dan tidak dibagi?
Oleh karena itu, perlu diajukan
satu doktrin atau
kriteria berdasarkan kompetensi
inti (core competence).
Hal ini didasarkan atas pemikiran
bahwa setiap
organisasi pada umumnya memiliki
satu atau lebih
kompetensi inti. Penerapan
doktrin ini, khususnya pada
pengelolaan sungai ini didasarkan
pada beberapa hal.
Pertama, instansi atau
organisasi tertentu yang terlibat
pada dasarnya memiliki kelebihan
dibanding yang lain
dalam urusan atau kasus tertentu.
Kedua, kelebihankelebihan
seperti (1) sektor society (masyarakat)
pada edukasi dan motivasi
masyarakat, (2) kelebihan
sektor pemerintahan lokal pada
aksesibilitas, artikulasi
persoalan dan urgensi
penyelesaian kasus, (3) kelebihan
departemen teknis pada aspek
teknis, (4) kelebihan
sektor private pada
pengelolaan secara efisien, dan
(5) masyarakat lokal dengan
pengetahuan tradisional
dan kearifan lokal. Ketiga,
pengelolaan sungai pada
dasarnya adalah otonomi bersama
di antara organisasi
yang terlibat dengan
menggabungkan kompetensi inti
masing-masing.
C. Ilustrasi
Empirik dalam Pengelolaan DAS Citarum
Dalam Pengelolaan DAS Citarum
masih kuat terlihat
ego sektoral masing-masing
instansi pemerintah maupun
organisasi masyarakat. Hal ini
terlihat dari beberapa temuan
penelitian yang dikompilasi dari
persepsi atau berdasarkan
perspektif pengelola saat ini.
Temuan penelitian diringkas
sebagai berikut.
Pertama, dalam praktik
pengelolaan DAS Citarum
masih terjadi benturan otoritas
antara instansi pemerintah
pusat dengan pemerintah daerah
bahkan dengan masyarakat
khususnya dalam menetapkan
wilayah kewenangan. Hal
ini terlihat dalam otoritas
pengelolaan dan pemberian izin
dalam area in-stream dan off
–stream untuk DAS yang
sama.
Kedua, beberapa
benturan kepentingan secara lebih
luas dapat dipaparkan sebagai
berikut (1) perbedaan
kehendak antara masyarakat dengan
instansi lain
dalam pemanfaatan lahan di
sekitar DAS; (2) benturan
kepentingan antara pemerintah
Kabupaten Bandung
dengan Propinsi Jawa Barat,
khususnya dalam pemanfaatan
air permukaan; (3) benturan
antara kemanfaatan ekonomi
dan kebutuhan akan pengendalian
dampak lingkungan
yang terjadi karena inkonsistensi
dan perbedaan sikap
dan posisi organisasi pengendali
dampak lingkungan; (4)
benturan kepentingan antara
pemerintah daerah, khususnya
di perbatasan. Aktivitas
pemerintah daerah tertentu di
perbatasan, membawa dampak ke
wilayah pemerintah
lainnya di seberang perbatasan;
(5) benturan kepentingan
berkaitan dengan peran dan fungsi
tiap instansi baik antara
instansi di daerah maupun antar
instansi pemerintah daerah
dengan pemerintah pusat.
KESIMPULAN
Pengelolaan sungai merupakan
urusan bersama
di antara organisasi, baik
organisasi pemerintah pusat
maupun daerah (government
sector), society (lembaga
swadaya masyarakat, dan
masyarakat lokal setempat),
serta private. Implementasi
kebijakan dari pengelolaan
RAHARJA, GOVERNANCE PENGELOLAAN
SUNGAI 85
sungai sebagai urusan bersama
memiliki implikasi.
Pertama, implikasi
prinsip pembagian urusan
pemerintahan yaitu perlu
ditambahkannya prinsip
pembagian kewenangan dari dua
prinsip (ultra vires
dan general competence)
menjadi tiga prinsip (ultra
vires, general
competence, dan
core competence).
Kedua, implikasi kriteria
pembagian urusan dari
tiga kriteria (eksternalitas,
efisiensi, akuntabilitas)
menjadi lima kriteria
(eksternalitas, efisiensi, dan
akuntabilitas, aksesibilitas dan
efektivitas). Ketiga,
implikasi kebijakan yaitu
perlunya penyempurnaan
kembali Peraturan Pemerintah
Nomor 38 tahun 2007.
Pada hal ini khususnya dalam
pembagian urusan yang
memasukan unsur nonstate sesuai
dengan paradigma
baru penyelenggaraan
pemerintahan, governance, yang
multi aktor yang terdiri unsur state,
civil society, dan
private. Peraturan khusus
terkait dengan sungai secara
umum juga perlu ditinjau kembali.